Pages

Wednesday 30 November 2011

Pasangan Dari Tuhan

"Engkau tidak memiliki pasangan karena engkau tidak memintanya", Tuhan menjawab. Tidak hanya Aku meminta kepada Tuhan, Aku menjelaskan kriteria pasangan yang kuinginkan. Aku menginginkan pasangan yang baik hati, lembut, mudah mengampuni, hangat, jujur, penuh dengan damai dan sukacita, murah hati, penuh pengertian, pintar, humoris, penuh perhatian. Aku bahkan memberikan kriteria pasangan tersebut secara fisik yang selama ini kuimpikan. Sejalan dengan berlalunya waktu, Aku menambahkan daftar kriteria yang kuinginkan dalam pasanganku.

Suatu malam, dalam doa, Tuhan berkata dalam hatiku," Hamba-Ku, Aku tidak dapat memberikan apa yang engkau inginkan. " Aku bertanya, "Mengapa Tuhan?" dan Ia menjawab, " Karena Aku adalah Tuhan dan Aku adalah Adil. Aku adalah Kebenaran dan segala yang Aku lakukan adalah benar." " Aku bertanya lagi, "Tuhan, aku tidak mengerti mengapa aku tidak dapat memperoleh apa yang aku pinta dari-Mu?" " Jawab Tuhan, "Aku akan menjelaskannya kepada-Mu, Adalah suatu ketidak adilan dan ketidak benaran bagi-Ku untuk memenuhi keinginanmu karena Aku tidak dapat memberikan sesuatu yang bukan seperti engkau. Tidaklah adil bagi-Ku untuk memberikan seseorang yang penuh dengan cinta dan kasih kepadamu jika terkadang engkau masih kasar, atau memberikan seseorang yang pemurah tetapi engkau masih kejam, atau seseorang yang mudah mengampuni tetapi engkau sendiri masih suka menyimpan dendam, seseorang yang sensitif, namun engkau sendiri tidak..."

Kemudian Ia berkata kepadaku, "Adalah lebih baik jika Aku memberikan kepadamu seseorang yang Aku tahu dapat menumbuhkan segala kualitas yang engkau cari selama ini daripada membuat engkau membuang waktu mencari seseorang yang sudah mempunyai semuanya itu. Pasanganmu akan berasal dari tulangmu dan dagingmu, dan engkau akan melihat dirimu sendiri di dalam dirinya dan kalian berdua akan menjadi satu.

Pernikahan adalah seperti sekolah - suatu pendidikan jangka panjang. Pernikahan adalah tempat dimana engkau dan pasanganmu akan saling menyesuaikan diri dan tidak hanya bertujuan untuk menyenangkan hati satu sama lain, tetapi untuk menjadikan kalian manusia yang lebih baik, dan membuat suatu kerjasama yang solid. Aku tidak memberikan pasangan yang sempurna karena engkau tidak sempurna. Aku memberikanmu seseorang yang dapat tumbuh bersamamu."
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)” (An-Nur 26)


“Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah : a. Orang yang berjihad / berperang di jalan Allah. b. Budak yang menebus dirinya dari tuannya. c. Pemuda yang menikah karena mau menjauhkan dirinya dari yang haram” (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim)



“Jadilah istri yang terbaik. Sebaik-baiknya istri, apabila dipandang suaminya menyenangkan, bila diperintah ia taat, bila suami tidak ada, ia jaga harta suaminya dan ia jaga kehormatan dirinya” (Al Hadits)


“Sesungguhnya, apabila seorang suami memandang isterinya (dengan kasih & sayang) dan isterinya juga memandang suaminya (dengan kasih & sayang), maka Allah akan memandang keduanya dengan pandangan kasih & sayang. Dan apabila seorang suami memegangi jemari isterinya (dengan kasih & sayang) maka berjatuhanlah dosa-dosa dari segala jemari keduanya” (HR. Abu Sa’id)

Thursday 24 November 2011

CINTA



Cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi. Dalam konteks filosofi cinta merupakan sifat baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut.


Cinta adalah satu perkataan yang mengandungi makna perasaan yang rumit. Bisa dialami semua makhluk. Penggunaan perkataan cinta juga dipengaruhi perkembangan semasa. Perkataan sentiasa berubah arti menurut tanggapan, pemahaman dan penggunaan di dalam keadaan, kedudukan dan generasi masyarakat yang berbeda. Sifat cinta dalam pengertian abad ke 21 mungkin berbeda daripada abad-abad yang lalu.

Ungkapan cinta mungkin digunakan untuk meluapkan perasaan seperti berikut:
  • Perasaan terhadap keluarga
  • Perasaan terhadap teman-teman, atau philia
  • Perasaan yang romantis atau juga disebut asmara
  • Perasaan yang hanya merupakan kemahuan, keinginan hawa nafsu atau cinta eros
  • Perasaan sesama atau juga disebut kasih sayang atau agape
  • Perasaan tentang atau terhadap dirinya sendiri, yang disebut narsisisme
  • Perasaan terhadap sebuah konsep tertentu
  • Perasaan terhadap negaranya atau patriotisme
  • Perasaan terhadap bangsa atau nasionalisme
Penggunaan istilah cinta dalam masyarakat Indonesia dan Malaysia lebih dipengaruhi perkataan love dalam bahasa Inggris. Love digunakan dalam semua amalan dan arti untuk eros, philia, agape dan storge. Namun demikian perkataan-perkataan yang lebih sesuai masih ditemui dalam bahasa serantau dan dijelaskan seperti berikut:
  • Cinta yang lebih cenderung kepada romantis, asmara dan hawa nafsu, eros
  • Sayang yang lebih cenderung kepada teman-teman dan keluarga, philia
  • Kasih yang lebih cenderung kepada keluarga dan Tuhan, agape
  • Semangat nusa yang lebih cenderung kepada patriotisme, nasionalisme dan narsisme, storge.

Beberapa bahasa, termasuk bahasa Indonesia atau bahasa Melayu apabila dibandingkan dengan beberapa bahasa mutakhir di Eropa, terlihat lebih banyak kosakatanya dalam mengungkapkan konsep ini. Termasuk juga bahasa Yunani kuno, yang membedakan antara tiga atau lebih konsep: eros, philia, dan agape. Cinta adalah perasaan simpati yang melibatkan emosi yang mendalam.

Menurut Erich Fromm, ada empat syarat untuk mewujudkan cinta kasih, yaitu:
  • Perasaan
  • Pengenalan
  • Tanggung jawab
  • Perhatian
  • Saling menghormati
Erich Fromm dalam buku larisnya (the art of loving) menyatakan bahwa ke empat gejala: Care, Responsibility, Respect, Knowledge (CRRK), muncul semua secara seimbang dalam pribadi yang mencintai. Omong kosong jika seseorang mengatakan mencintai anak tetapi tak pernah mengasuh dan tak ada tanggung jawab pada si anak. Sementara tanggung jawab dan pengasuhan tanpa rasa hormat sesungguhnya & tanpa rasa ingin mengenal lebih dalam akan menjerumuskan para orang tua, guru, rohaniwan dll pada sikap otoriter.

Seperti banyak jenis kekasih, ada banyak jenis cinta. Cinta berada di seluruh semua kebudayaan manusia. Oleh karena perbedaan kebudayaan ini, maka pendefinisian dari cinta pun sulit ditetapkan. Lihat hipotesis Sapir-Whorf. Ekspresi cinta dapat termasuk cinta kepada 'jiwa' atau pikiran, cinta hukum dan organisasi, cinta badan, cinta alam, cinta makanan, cinta uang, cinta belajar, cinta kuasa, cinta keterkenalan, dll. Cinta lebih berarah ke konsep abstrak, lebih mudah dialami daripada dijelaskan. Cinta kasih yang sudah ada perlu selalu dijaga agar dapat dipertahankan keindahannya.

(Sumber Wikipedia)

BINTANG


Bintang merupakan benda langit yang memancarkan cahaya. Terdapat bintang semu dan bintang nyata. Bintang semu adalah bintang yang tidak menghasilkan cahaya sendiri, tetapi memantulkan cahaya yang diterima dari bintang lain. Bintang nyata adalah bintang yang menghasilkan cahaya sendiri. Secara umum sebutan bintang adalah objek luar angkasa yang menghasilkan cahaya sendiri (bintang nyata).

Menurut ilmu astronomi, definisi bintang adalah: “Semua benda masif (bermassa antara 0,08 hingga 200 massa matahari) yang sedang dan pernah melangsungkan pembangkitan energi melalui reaksi fusi nuklir.” Oleh sebab itu bintang katai putih dan bintang neutron yang sudah tidak memancarkan cahaya atau energi tetap disebut sebagai bintang.

Bintang terdekat dengan Bumi adalah Matahari pada jarak sekitar 149,680,000 kilometer, diikuti oleh Proxima Centauri dalam rasi bintang Centaurus berjarak sekitar empat tahun cahaya.

Bintang-bintang telah menjadi bagian dari setiap kebudayaan. Bintang-bintang digunakan dalam praktik-praktik keagamaan, dalam navigasi, dan bercocok tanam. Kalender Gregorian, yang digunakan hampir di semua bagian dunia, adalah kalender matahari, mendasarkan diri pada posisi Bumi relatif terhadap bintang terdekat, Matahari.

Astronom-astronom awal seperti Tycho Brahe berhasil mengenali ‘bintang-bintang baru’ di langit (kemudian dinamakan novae) menunjukkan bahwa langit tidaklah kekal. Pada 1584 Giordano Bruno mengusulkan bahwa bintang-bintang sebenarnya adalah matahari-matahari lain, dan mungkin saja memiliki planet-planet seperti Bumi di dalam orbitnya, ide yang telah diusulkan sebelumnya oleh filsuf-filsuf Yunani kuno seperti Democritus dan Epicurus.

Pada abad berikutnya, ide bahwa bintang adalah matahari yang jauh mencapai konsensus di antara para astronom. Untuk menjelaskan mengapa bintang-bintang ini tidak memberikan tarikan gravitasi pada tata surya, Isaac Newton mengusulkan bahwa bintang-bintang terdistribusi secara merata di seluruh langit, sebuah ide yang berasal dari teolog Richard Bentley.

Astronom Italia Geminiano Montanari merekam adanya perubahan luminositas pada bintang Algol pada 1667. Edmond Halley menerbitkan pengukuran pertama gerak diri dari sepasang bintang “tetap” dekat, memperlihatkan bahwa mereka berubah posisi dari sejak pengukuran yang dilakukan Ptolemaeus dan Hipparchus. Pengukuran langsung jarak bintang 61 Cygni dilakukan pada 1838 oleh Friedrich Bessel menggunakan teknik paralaks.

William Herschel adalah astronom pertama yang mencoba menentukan distribusi bintang di langit. Selama 1780an ia melakukan pencacahan di sekitar 600 daerah langit berbeda. Ia kemudian menyimpulkan bahwa jumlah bintang bertambah secara tetap ke suatu arah langit, yakni pusat galaksi Bima Sakti. Putranya John Herschel mengulangi pekerjaan yang sama di hemisfer langit sebelah selatan dan menemukan hasil yang sama. Selain itu William Herschel juga menemukan bahwa beberapa pasangan bintang bukanlah bintang-bintang yang secara kebetulan berada dalam satu arah garis pandang, melainkan mereka memang secara fisik berpasangan membentuk sistem bintang ganda.Tenaga yang dihasilkan Patrick Star, sebagai hasil samping dari reaksi fusi nuklear, dipancarkan ke luar angkasa sebagai radiasi elektromagnetik dan radiasi partikel.

Radiasi partikel yang dipancarkan bintang dimanifestasikan sebagai angin bintang (yang berwujud sebagai pancaran tetap partikel-partikel bermuatan listrik seperti proton bebas, partikel alpha dan partikel beta yang berasal dari bagian terluar bintang) dan pancaran tetap neutrino yang berasal dari inti bintang.

Hampir semua informasi yang kita miliki mengenai bintang yang lebih jauh dari Matahari diturunkan dari pengamatan radiasi elektromagnetiknya, yang terentang dari panjang gelombang radio hingga sinar gamma. Namun tidak semua rentang panjang gelombang tersebut dapat diterima oleh teleskop landas Bumi. Hanya gelombang radio dan gelombang cahaya yang dapat diteruskan oleh atmosfer Bumi dan menciptakan ‘jendela radio’ dan ‘jendela optik’. Teleskop-teleskop luar angkasa telah diluncurkan untuk mengamati bintang-bintang pada panjang gelombang lain. Banyaknya radiasi elektromagnetik yang dipancarkan oleh bintang dipengaruhi terutama oleh luas permukaan, suhu dan komposisi kimia dari bagian luar (fotosfer) bintang tersebut. Pada akhirnya kita dapat menduga kondisi di bagian dalam bintang, karena apa yang terjadi di permukaan pastilah sangat dipengaruhi oleh bagian yang lebih dalam.

Dengan menelaah spektrum bintang, astronom dapat menentukan temperatur permukaan, gravitasi permukaan, metalisitas, dan kecepatan rotasi dari sebuah bintang. Jika jarak bisa ditentukan, misal dengan metode paralaks, maka luminositas bintang dapat diturunkan. Massa, radius, gravitasi permukaan, dan periode rotasi kemudian dapat diperkirakan dari pemodelan. Massa bintang dapat juga diukur secara langsung untuk bintang-bintang yang berada dalam sistem bintang ganda atau melalui metode mikrolensing. Pada akhirnya astronom dapat memperkirakan umur
sebuah bintang dari parameter-parameter di atas.

Berdasarkan spektrumnya, bintang dibagi ke dalam 7 kelas utama yang dinyatakan dengan huruf O, B, A, F, G, K, M yang juga menunjukkan urutan suhu, warna dan komposisi-kimianya. Klasifikasi ini dikembangkan oleh Observatorium Universitas Harvard dan Annie Jump Cannon pada tahun 1920an dan dikenal sebagai sistem klasifikasi Harvard. Untuk mengingat urutan penggolongan ini biasanya digunakan kalimat "Oh Be A Fine Girl Kiss Me". Dengan kualitas spektrogram yang lebih baik memungkinkan penggolongan ke dalam 10 sub-kelas yang diindikasikan oleh sebuah bilangan (0 hingga 9) yang mengikuti huruf. Sudah menjadi kebiasaan untuk menyebut bintang-bintang di awal urutan sebagai bintang tipe awal dan yang di akhir urutan sebagai bintang tipe akhir. Jadi, bintang A0 bertipe lebih awal daripada F5, dan K0 lebih awal daripada K5.

Pada tahun 1943, William Wilson Morgan, Phillip C. Keenan, dan Edith Kellman dari Observatorium Yerkes menambahkan sistem pengklasifikasian berdasarkan kuat cahaya atau luminositas, yang seringkali merujuk pada ukurannya. Pengklasifikasian tersebut dikenal sebagai sistem klasifikasi Yerkes dan membagi bintang ke dalam kelas-kelas berikut :
0 Maha maha raksasa
I Maharaksasa
II Raksasa-raksasa terang
III Raksasa
IV Sub-raksasa
V Deret utama(katai)
VI Sub-katai
VII Katai putih

Umumnya kelas bintang dinyatakan dengan dua sistem pengklasifikasian di atas. Matahari kita misalnya, adalah sebuah bintang dengan kelas G2V, berwarna kuning, bersuhu dan berukuran sedang. Diagram Hertzsprung-Russell adalah diagram hubungan antara luminositas dan kelas spektrum (suhu permukaan) bintang. Diagram ini adalah diagram paling penting bagi para astronom dalam usaha mempelajari evolusi bintang.

Karena jaraknya yang sangat jauh, semua bintang (kecuali Matahari) hanya tampak sebagai titik saja yang berkelap-kelip karena efek turbulensi atmosfer Bumi. Diameter sudut bintang bernilai sangat kecil ketika diamati menggunakan teleskop optik landas Bumi, hingga diperlukan teleskop interferometer untuk dapat memperoleh citranya. Bintang dengan ukuran diameter sudut terbesar setelah Matahari adalah R Doradus, dengan 0,057 detik busur. Sebuah katai putih yang sedang mengorbit Sirius (konsep artis). citra NASA. Telah lama dikira bahwa kebanyakan bintang berada pada sistem bintang ganda atau sistem multi bintang.

Kenyataan ini hanya benar untuk bintang-bintang masif kelas O dan B, dimana 80% populasinya dipercaya berada dalam suatu sistem bintang ganda atau pun multi bintang. Semakin redup bintang, semakin besar kemungkinannya dijumpai sebagai sistem tunggal. Dijumpai hanya 25% populasi katai merah yang berada dalam sebuah sistem bintang ganda atau sistem multi bintang. Karena 85% populasi bintang di galaksi Bimasakti adalah katai merah, maka tampaknya kebanyakan bintang di dalam Bimasakti berada pada sistem bintang tunggal.

Sistem yang lebih besar yang disebut gugus bintang juga dijumpai. Bintang-bintang tidak tersebar secara merata mengisi seluruh ruang alam semesta, tetapi terkelompokkan ke dalam galaksi-galaksi bersama-sama dengan gas antarbintang dan debu. Sebuah galasi tipikal mengandung ratusan miliar bintang, dan terdapat lebih dari 100 miliar galaksi di seluruh alam semesta teramati. Astronom memperkirakan terdapat 70 sekstiliun (7×1022) bintang di seluruh alam semesta yang teramati. Ini berarti 70 000 000 000 000 000 000 000 bintang, atau 230 miliar kali banyaknya bintang di galaksi Bimasakti yang berjumlah sekitar 300 miliar.

Bintang terdekat dengan Matahari adalah Proxima Centauri, berjarak 39.9 triliun (1012) kilometer, atau 4.2 tahun cahaya. Cahaya dari Proxima Centauri memakan waktu 4.2 tahun untuk mencapai Bumi. Jarak ini adalah jarak antar bintang tipikal di dalam sebuah piringan galaksi. Bintang-bintang dapat berada pada jarak yang lebih dekat satu sama lain di daerah sekitar pusat galasi dan di dalam gugus bola, atau pada jarak yang lebih jauh di halo galaksi. Karena kerapatan yang rendah di dalam sebuah galaksi, tumbukan antar bintang jarang terjadi. Namun di daerah yang sangat padat seperti di inti sebuah gugus bintang atau lingkungan sekitar pusat galaksi, tumbukan dapat sering terjadi. Tumbukan seperti ini dapat menghasilkan pengembara-pengembara biru yaitu sebuah bintang abnormal hasil penggabungan yang memiliki temperatur permukaan yang lebih tinggi dibandingkan bintang deret utama lainnya di sebuah gugus bintang dengan luminositas yang sama. Istilah pengembara merujuk pada jejak evolusi yang berbeda dengan bintang normal lainnya pada diagram Hertzsprung-Russel.

Bintang terbentuk di dalam awan molekul; yaitu sebuah daerah medium antarbintang yang luas dengan kerapatan yang tinggi (meskipun masih kurang rapat jika dibandingkan dengan sebuah vacuum chamber yang ada di Bumi). Awan ini kebanyakan terdiri dari hidrogen dengan sekitar 23–28% helium dan beberapa persen elemen berat. Komposisi elemen dalam awan ini tidak banyak berubah sejak peristiwa nukleosintesis Big Bang pada saat awal alam semesta. Gravitasi mengambil peranan sangat penting dalam proses pembentukan bintang.

Pembentukan bintang dimulai dengan ketidakstabilan gravitasi di dalam awan molekul yang dapat memiliki massa ribuan kali matahari. Ketidakstabilan ini seringkali dipicu oleh gelombang kejut dari supernova atau tumbukan antara dua galaksi. Sekali sebuah wilayah mencapai kerapatan materi yang cukup memenuhi syarat terjadinya instabilitas Jeans, awan tersebut mulai runtuh di bawah gaya gravitasinya sendiri. Berdasarkan syarat instabilitas Jeans, bintang tidak terbentuk sendiri-sendiri, melainkan dalam kelompok yang berasal dari suatu keruntuhan di suatu awan molekul yang besar, kemudian terpecah menjadi konglomerasi individual. Hal ini didukung oleh pengamatan dimana banyak bintang berusia sama tergabung dalam gugus atau asosiasi bintang. Begitu awan runtuh, akan terjadi konglomerasi individual dari debu dan gas yang padat yang disebut sebagai globula Bok. Globula Bok ini dapat memiliki massa hingga 50 kali Matahari. Runtuhnya globula membuat bertambahnya kerapatan. Pada proses ini energi gravitasi diubah menjadi energi panas sehingga temperatur meningkat. Ketika awan protobintang ini mencapai kesetimbangan hidrostatik, sebuah protobintang akan terbentuk di intinya. Bintang pra deret utama ini seringkali dikelilingi oleh piringan protoplanet. Pengerutan atau keruntuhan awan molekul ini memakan waktu hingga puluhan juta tahun. Ketika peningkatan temperatur di inti protobintang mencapai kisaran 10 juta kelvin, hidrogen di inti 'terbakar' menjadi helium dalam suatu reaksi termonuklir. Reaksi nuklir di dalam inti bintang menyuplai cukup energi untuk mempertahankan tekanan di pusat sehingga proses pengerutan berhenti. Protobintang kini memulai kehidupan baru sebagai bintang deret utama.

Bintang menghabiskan sekitar 90% umurnya untuk membakar hidrogen dalam reaksi fusi yang menghasilkan helium dengan temperatur dan tekanan yang sangat tinggi di intinya. Pada fase ini bintang dikatakan berada dalam deret utama dan disebut sebagai bintang katai.


Ketika kandungan hidrogen di teras bintang habis, teras bintang mengecil dan membebaskan banyak panas dan memanaskan lapisan luar bintang. Lapisan luar bintang yang masih banyak hidrogen mengembang dan bertukar warna merah dan disebut bintang raksaksa merah yang dapat mencapai 100 kali ukuran matahari sebelum membentuk bintang kerdil putih. Sekiranya bintang tersebut berukuran lebih besar dari matahari, bintang tersebut akan membentuk superraksaksa merah. Superraksaksa merah ini kemudiannya membentuk Nova atau Supernova dan kemudiannya membentuk bintang neutron atau Lubang hitam.

(sumber : Wikipedia)

Wednesday 23 November 2011

Good Bye

I can see the pain living in your eyes
And I know how hard you try
You deserve to have much more
I can feel your heart and I simpathize
And I'll never criticize
All you've ever meant to my life


I don't want to let you down
I don't want to lead you on
i don't want to hold you back
From where you might belong


You would never ask me why
My heart is so disguised
I just can't live a lie anymore
I would rather hurt myself
Than to ever make you cry
There's nothing left to say but goodbye


You deserve the chance at the kind of love
I'm not sure i'm worthy of
Losing you is painful to me


I don't want to let you down
I don't want to lead you on
i don't want to hold you back
From where you might belong


You would never ask me why
My heart is so disguised
I just can't live a lie anymore
I would rather hurt myself
Than to ever make you cry
There's nothing left to say but goodbye


You would never ask me why
My heart is so disguised
I just can't live a lie anymore
I would rather hurt myself
Than to ever make you cry
There's nothing left to try
Though it's gonna hurt us both
There's no other way than to say goodbye

[Good Bye - Air Supply]

Monday 14 November 2011

Rasaku Ini Ternyata Rasamu


X (10/06/2011 10:36:53 AM) : Neng
X (10/06/2011 10:37:08 AM) : Donlod lagu: Itu Aku nya So7 deh
X (10/06/2011 10:37:15 AM) : Begini liriknya..
X (10/06/2011 10:37:58 AM) : Begini liriknya..

Ribuan hari aku menunggumu
Jutaan lagu tercipta utkmu
Apakah kau akan terus begini
Msh adakah celah di hatimu
Yg msh bs tuk ku singgahi
Cobalah aku kpn engkau mau

Tahukah lagu yg kau suka
Tahukah BINTANG yg kau sapa
Tahukah rumah yg kau tuju...

Itu aku..

Coba keluar di mlm badai
Nyanyikan lagu yg kau suka
Mk kesejukkan yg kau rasa
Coba keluar di terik siang
Ingatlah BINTANG yg kau sapa
Maka kehangatan yg kau rasa
Percayalah.. Itu aku;)


Wednesday 9 November 2011

Kerinduan


Ponselku berdering, dan nama Bintang tertulis di layarnya. Ah, memang siapa lagi orang selain Bintang yang meneleponku di tengah malam begini? Setidaknya telpon dari Bintang lah yang selalu menghiasi malam-malamku beberapa bulan ke belakang, sampai Bintang.... bukan.... bukan Bintang, melainkan kami lebih tepatnya, merasa bahwa percintaan ini harus diakhiri.

Ah... sejenak aku ragu untuk mengangkat telpon darinya. Tapi, aku merindukannya, ingin sekali aku bergegas menyapanya dan mengatakan sejujurnya bahwa aku merindukannya, bahwa aku terlalu mencintainya, dan bahwa perpisahan dengannya sungguh menyiksaku. Tidak. Aku harus bisa menguasai diriku betapapun cinta membuatku rapuh. Aku tak mau terdengar gugup, atau terdengar sedih, atau terdengar bahagia hanya dengan mendengar suaranya. Aku ingin suaraku terdengar datar di telinganya.

Akhirnya aku mengangkat telpon, menyapanya dengan berusaha sebiasa mungkin, dan mencoba untuk tidak menanyakan apapun kepadanya. Ah, Bintang ternyata hanya menanyakan kabar saja, dan menyatakan terima kasih atas sesuatu yang sebenarnya bukan hal penting yang aku lakukan padanya beberapa saat yang lalu. Ya, meskipun kita bukan lagi pasangan yang saling memadu kasih, namun hubungan pertemanan sedapat mungkin kami jaga untuk bisa normal, sama seperti kami lebih dulu mengenal satu sama lain, sebelum kami mengutarakan rasa cinta yang ada pada diri kami masing-masing.

Aku merasakan adanya aura gugup dalam suaranya yang terdengar sedikit parau. Mungkinkah apa yang ku rasa, juga Bintang rasa? Perasaan halusku masih sering merasakan bahwa sebenarnya Bintang masih mencintaiku, namun Bintang belum bisa memperjuangkan cinta kami yang mungkin tak bisa dimengerti. Ya, ku fikir jauh di lubuk hatinya sebenarnya Bintang juga merinduiku. Namun nalurinya sebagai laki-laki selalu berusaha menutupi perasaannya dengan logika. Seharusnya kau jujur saja, karena aku mencintaimu.

Sudahlah... mencintai Bintang dalam diamku masih bisa memberikan sedikit kebahagiaan dalam relung jiwaku. Dalam sujudku selalu aku berharap, suatu hari Alloh akan mempersatukan kita, memberikan ku kesempatan untuk bisa membahagiakanmu. Who knows? Dan aku selalu berusaha meyakini do'a ku dikabulkan Alloh.

Kami sama-sama terdiam beberapa detik. Tak ada yang memulai topik pembicaraan, hanya senyap. Akhirnya Bintang memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan yang sama sekali belum di mulai. Dalam hatiku, aku protes, kenapa harus ditutup? Kenapa tidak kita biarkan saja sunyi memenuhi percakapan kita? Bukankah di antara kita sudah ada keterikatan hati, yang bisa saling merasakan apa yang sedang dirasa? Ah.... aku ingin menahanmu selama mungkin untuk tidak menutup teleponnya. Aku merindukanmu, Bintang. Tapi akal sehatku menyetujui tindakannya. Maka dengan rasa enggan, ku jawab pamitnya. Hati kecilku berisik lirih, "selamat tidur sayang, hadirkan aku dalam mimpi indahmu".

Wahai Tuhan Yang Maha Pemurah, tolong jaga Bintang untukku. Berikan aku kesempatan untuk bisa memberinya bahagia.



Tuesday 8 November 2011

Lewat Secangkir Kopi (10)




“Halo?” Lagi-lagi tak ada jawaban, setelah ku ikut diam menunggu jawaban si penelepon. Waktu aku mau mematikan, tiba-tiba suara si penelepon terdengar. Aku mengenal suara ini... suara yang sama yang selalu menemaniku selama enam bulan ini. Aku sangat mengenal suara yang sangat kurindukan ini. Tanpa dia harus menyebut namanya, aku tahu bahwa ini Shota... suara lembut ini milik Shota....

“Apakah aku masih diperbolehkan pulang ke rumah, jika aku telah pergi selama tujuh hari tanpa pamit dan mungkin kau mengkhawatirkanku?” suaranya agak berat, sedikit pelan, terdengar sangat lembut, namun hati-hati.

Aku tidak bisa menjawab teleponnya, karena tahu-tahu saja air mata turun deras. Aku merindukan sekali suara ini. Aku berusaha untuk tetap tegar, tapi aku tak bisa. Air mata ini sudah telanjur jatuh dan rasanya aku terdengar seperti sedang terisak.

“Apakah mendengar suaraku saja menyakiti hatimu, Ayu?” ia bertanya, lebih pelan. Aku merasakan kepedihan yang sama pada kata-katanya, namun ia lebih tegar, tidak menangis sepertiku. Aku mengangguk mengiyakan, tapi, toh, dia tidak bakal melihatku.

“Aku minta maaf, Yu. Aku minta maaf karena tidak pernah mengatakan masa laluku sebelumnya padamu. Aku minta maaf karena berbuat seperti ini padamu.”

Sekuat tenaga kutahan isakan tangisku. Aku meringkuk lebih kencang dalam malam yang dingin. Suara yang menyakitkan itu ternyata bisa menghangatkan sebagian jiwaku. Kami berdua sama-sama diam. Aku tidak bisa bicara, karena masih menangis dan kupikir dia pun mendengar isak tangisku, maka Shota ikut terdiam. Kami berdua sama-sama terdiam dalam suasana malam yang sunyi. Hanya tangis yang memekakkan kesunyian kami.

“Apa yang kau dengar dari ibuku memang benar. Ia kekasihku, teman kecilku, istriku, dulunya. Ia meninggal tiga tahun lalu, saat melahirkan calon putraku. Setiap tahun aku selalu mengunjungi makamnya dan memperingati hari kematiannya,” ia menjelaskan dan membiarkanku mendengarnya.

“Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak melihat wanita lain. Aku berjanji pada diriku bahwa hanya dia yang kucinta, selalu. Itulah sebabnya, aku selalu datang dan menengoknya, agar ia tahu bahwa sampai kapan pun hati ini hanya untuknya.”

Tangisku yang mulai mereda tiba-tiba terdengar kembali mengeras. Aku tidak kuat menahan kesedihanku dan kepedihanku, karena tahu bahwa aku tidak mungkin mendapatkan hatinya.

“Tapi, ketika aku duduk di kedaimu, memandangi jalanan raya dan terkadang melihatmu bekerja keras, melayani para pelanggan, kau begitu hidup. Kau penuh dengan kehidupan. Lewat secangkir kopi, aku menemukanmu. Aura kehidupanmu mengalihkan duniaku yang suram.”

“Jangan teruskan lagi, Shota!” aku pun akhirnya berani berbicara. “Aku tidak kuat mendengarnya,” aku berbisik pelan.

“Biar saja... biar kau tahu apa yang sebenarnya ada di hatiku. Tadinya aku tidak ingin datang ke peringatan itu, karena aku melanggar janjiku sendiri untuknya. Tapi, aku sadar bahwa meski ia tiada pun aku tetap menyayanginya dan tidak kupungkiri bahwa kini aku punya tempat untuk pulang. Aku punya seseorang yang akan menungguku pulang, duduk bersamaku, walau tak ada sedikit pun topik yang kubicarakan. Karena dia menungguku... aku meminta maaf padanya di nisan itu, bahwa aku telah telanjur membagi hatiku padanya dan seseorang ini. Aku telanjur menyayangimu,” suara Shota terdengar lemah di akhir kalimat.

Aku menunggunya berbicara dan ia tidak lagi berbicara. Teleponnya tetap tersambung, namun suara tersebut menghilang. Yang ada hanya suara isakan yang jauh lebih pelan dariku, tapi terdengar sangat dalam dan menyesakkan.

“Shota...?” seperti tersentak, entah kenapa hanya namanya yang ingin kupanggil.

“Shota, kembalilah ke rumah. Aku sangat merindukanmu. Cepatlah pulang, Shota-ku.” Dan, sambungan telepon itu kemudian terputus. Sambil memandangi telepon genggamku, aku menangis lagi, bukan karena hal lainnya, namun karena aku sendiri tidak mengerti kenapa aku sangat menyayanginya. Ia pasti kembali. Dalam benakku kuyakin ia akan kembali. Yang tidak kumengerti dari hubungan kami, tidak ada seorang pun yang berani memberi tahu tentang perasaan kami masing-masing.

Sehari setelah pengakuannya di telepon tersebut, Shota kembali ke rumah, ia makin memandangku dengan cara yang lebih hidup. Matanya tidak lagi kosong. Ia memelukku kencang dan berulang kali meminta maaf padaku. Kami memulai untuk tidur bersama. Aku mengangkat seluruh barang–barangku dan berbagi lemari dengan Shota. Aku tidak tahu seperti apa hubungan kami ini, kami saling menunggu saat yang tepat sampai kami mengerti dan menyadari bahwa sebenarnya kami saling membutuhkan, saling mencinta.

Dan, di suatu hari saat aku turun ke kedai pagi-pagi sekali. Ada sebuah pajangan dinding yang membuatku tersenyum lebar. Shota yang memasangnya pagi ini. Sebuah foto berbingkai besar berwarna hitam putih. Dalam foto itu ada sepasang kekasih yang saling menyuapi takoyaki bergantian. Si wanita tersenyum malu-malu, sementara si pria berusaha menahan rasa malunya.

Aku terkejut waktu mengetahui itu kami, foto yang Shota ambil diam-diam di acara matsuri kemarin. Inikah sesuatu yang ingin kau berikan itu? Aku lebih terkejut ketika Shota sudah berada di belakangku saat aku memandanginya. Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan membisikkan ucapan cintanya yang pertama padaku... daisuki. Kata cinta pertama untukku. Ia lantas tersenyum memandangku dan menciumku untuk pertama kalinya. (tamat)


[Dwi Retno Handayani]

Lewat Secangkir Kopi (9)




Kubuka lemari pakaian Shota, ada kardus berwarna putih di bagian atasnya. Kardus itu sudah berdebu, jadi aku turun ke bawah untuk membawa lap basah dan membersihkannya. Saat selesai kubersihkan, kubuka tutup kardus tersebut perlahan. Aku tidak yakin apakah ini hal yang benar, mencuri-curi dokumentasi pribadinya tanpa seizin Shota, aku tidak tahu.

Aku pandangi album berukuran sedang berwarna cokelat. Ada banyak kertas berisi tulisan, beberapa CD musik dan dua notes dengan ukuran yang sama seperti ukuran album. Aku tidak mengerti tulisan dalam kertas dan notes tersebut, karena ditulis dalam huruf kanji. Kuputuskan untuk menelepon Edo dan menanyakan padanya tentang isi notes dan kertas-kertas ini.

Sambil menunggu Edo ke atas, aku duduk menyandar pada ranjang Shota dan mulai membuka album fotonya. Semua foto itu adalah foto-fotonya ketika kecil, saat sekolah dasar hingga universitas. Di antara orang-orang yang berada di foto tersebut, aku menemukan satu orang yang selalu ada, seorang gadis yang di foto universitasnya sudah menjadi seorang wanita yang sangat cantik.

Di halaman berikutnya aku melihat Shota berfoto berdua dengan wanita tersebut. Di bawahnya ada tulisan dalam bahasa Inggris: ‘What a day with Reika’. Jadi namanya Reika. Aku melihat gambar cangkir berwarna hijau dan ada tulisan ‘Reika’s fav is tea’. Di halaman selanjutnya, mereka berdua dalam kimono yang khas, seperti yang sering kulihat dalam film-film Jepang saat upacara pernikahan.

Reika memakai kimono putih dengan bunga-bunga pink. Rambutnya ditata sedemikian rupa seperti wanita dalam film Memoir of A Geisha. Shota terlihat sangat tampan. Ia memakai kimono berwarna biru tua dan tersenyum. Aku ambil salah satu CD yang berada di kardus tersebut.

Aku berdiri untuk mendengarkan CD tersebut. Begitu kuputar tombol play, lagu tersebut terdengar sangat enak, walaupun aku tidak tahu apa arti liriknya. Edo datang di saat itu juga. Begitu ia mendengar lagu-lagu ini, ia segera tahu siapa yang menyanyikannya. “Aku suka track yang ke-5!” aku membiarkan Edo mendengarnya. Ia bilang lagu ini dinyanyikan oleh L’Arc en Ciel dengan judul Flower. Mungkin aku menyukainya, karena inilah satu-satunya lagu yang bisa kubaca dalam bahasa Inggris. Tapi, percuma saja, begitu tombol play kutekan, si vokalis malah menyanyikannya dalam lirik Jepang. Di catatan pinggir CD, aku melihat tulisan ‘Reika’s fav’. Ternyata, lagu ini juga lagu favorit mendiang istri Shota.

“Mbak, kalau Shota-san tahu barang-barangnya digeledah seperti ini...,” Edo ragu-ragu waktu kuminta membaca notes-nya. Aku segera menyahut, “Biar saja. Dia juga nggak peduli kalau aku menunggunya!”

Edo cukup mahir ternyata. Ia mengartikan dengan baik setiap kata yang terdapat di dalamnya. Edo bilang, ini buku harian milik seorang wanita. Sedangkan kertas-kertas tersebut diberikan oleh seorang laki-laki untuknya.

Ia membaca satu kalimat terakhir dalam buku itu yang ditulis dalam bahasa Inggris, then seek, not, sweet, the If and why, I love u now until I die, for I must love because I live, and life in me is what u give... sebuah bait dalam puisi karya Christopher Brennan, Because She Would Ask Me Why I Loved Her.

Aku diam mendengar Edo membacanya. Aku juga tidak sanggup membendung lagi air mata yang sudah berhari-hari lalu ingin kukeluarkan. Edo mendekatiku dan memelukku. Shota ternyata sangat mencintainya. Shota sangat mencintai wanita tersebut, sahabat kecilnya. Itulah kenapa ia sulit sekali keluar dari kepedihan hidupnya.

“Apakah salah karena aku mulai mencintai laki-laki ini?”

Berandai-andai Shota akan pulang hari ini rasanya telah menjadi kembang tidurku di siang hari. Aku menyerahkan operasional kedaiku pada Edo, sementara aku selalu duduk di depan jendela lantai atas, menunggu SUV putih Shota pulang.

Aku mulai hidup dalam khayalan. Aku mulai membayangkan Shota pulang dan duduk bersamaku di halaman belakang atau hanya sekadar duduk di sofa sambil menonton teve. Aku mulai membayangkan diriku pergi bersama Shota. Ia menggandeng tanganku dan membawaku ke mana pun aku mau. Aku lebih banyak melamun daripada menyibukkan diri. Aku sudah mendengarkan CD milik Reika yang diberikan pada Shota. Aku memutarnya setiap saat, meskipun aku tidak mengerti artinya.

Aku memakai kimono yang diberikan oleh ibu Shota di dalam rumah. Aku memang tidak bisa memasang obinya dengan baik, yang penting aku memakainya. Aku memakainya menyusuri anak tangga, dan terkadang hingga ke kedai. Edo tahu bahwa aku mulai bertingkah seperti orang gila, tapi aku tidak peduli. Aku pergi ke salah satu restoran Jepang hanya untuk membeli takoyaki. Aku merindukan semua hal yang ia perkenalkan padaku. Namun, lebih dari itu, aku sangat merindukannya, dirinya... sangat.

Aku tahu, saat ini perasaanku sedang kacau dan aku tidak tahu harus lari ke mana. Edo pun bingung untuk menyadarkanku. Terkadang ia mengasihani diriku dan di satu kesempatan ia seperti ingin menasihatiku. Sayangnya, tidak kugubris. Aku seperti orang bodoh, mengetahui bahwa sudah hampir seminggu aku ditinggalkan oleh Shota.

Kini aku merasa sangat sial. Dulu aku ditinggalkan calon pengantin priaku, sekarang aku ditinggalkan oleh teman hidupku. Sungguh menyedihkan.
Aku melangkah dengan kaki telanjang di malam berikutnya menuju kamar Shota yang tak terkunci. Aku mengusap-usap ranjangnya dan tidur meringkuk di sana. Hari makin malam, aku berusaha menutup mataku, namun tidak juga bisa tidur. Telepon genggamku bergetar, ketika aku mencoba untuk menutup mataku sekian kalinya. Nomor tanpa identitas yang kukenal muncul di layar. Aku memang sengaja membiarkannya tetap berdering. Aku benci sekali harus menerima telepon seseorang yang tidak berada dalam list-ku. Namun, dering itu makin lama makin memekakkan telinga. Mau tak mau kuangkat.

“Halo?”

Tak ada jawaban

Lewat Secangkir Kopi (8)




Ia kembali menoleh ke arahku, menatapku, kali ini lebih ramah. “Jangan panggil aku Nyonya Hajime, aku mohon. Kan sudah kuberi tahu kalau aku juga ibumu, Ayu.”

“Baiklah... Bu,” ucapku, sedikit ragu.

“Sebenarnya aku mau mengajakmu dan Shota makan malam bersama di rumah.” Ibu Shota mengambil cangkir teh dan meminumnya pelan–pelan. “Tadinya aku mau mengabarinya lewat telepon, tapi hitung-hitung ingin bertemu dengan menantuku, maka aku datang kemari.” Lagi-lagi ibu Shota tersenyum.

Aku tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Apakah aku harus mengatakan sudah dua hari Shota tidak pulang ke rumah, tidak mengabari apa pun kepadaku, dan aku tidak tahu dia pergi ke mana.

“Eh... aku tidak janji, Bu.”

“Kenapa? Apakah kalian sudah punya acara terlebih dahulu?” Wajah ibu Shota tampak kecewa.

“Eh... Shota...,” aku ragu-ragu mengatakannya.

“Shota sudah punya acara?” tanya ibu Shota. Bahasa Indonesia-nya baik sekali. Shota bilang, ibunya mewarisi darah Indonesia, tapi aku tidak mengerti dari sisi yang mana, karena wajahnya sangat Jepang.

“Maaf, aku lancang, Bu. Tapi, sebenarnya... sebenarnya Shota sudah dua hari ini tidak pulang,” akhirnya aku berbicara padanya. Aku menunduk malu, mengetahui bahwa mungkin di mata ibu Shota, aku bukanlah istri yang baik, yang tidak tahu ke mana perginya suaminya sendiri.

“Ia tidak menelepon? Tidak memberi tahumu sedikit pun?”

Aku menggeleng. Aku sudah berusaha meneleponnya, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Aku menjelaskan pada ibu Shota bahwa aku sama sekali tidak tahu kenapa ia pergi. Aku tidak tahu apakah aku telah berbuat salah, yang jelas ia tidak memberi tahuku ke mana perginya. Ibu Shota menoleh ke belakang, melihat ke arah kalender yang terpasang di dinding di belakangnya.

“Jangan-jangan ia benar-benar pergi....” Kalau tidak salah aku mendengar ibu Shota berbicara begitu pelan pada dirinya sendiri.

“Pergi?” aku bertanya akhirnya.

“Sebelumnya aku benar-benar minta maaf, tapi apakah Shota belum menceritakan apa pun padamu, Yu?”

“Menceritakan apa, Bu?”

“Bahwa ia akan pergi ke Jepang?”

“Ke Jepang?” aku mengulangi kata-kata itu, lebih untuk meminta penegasan bahwa aku tidak salah dengar. Ke Jepang! Untuk apa? Kenapa tidak memberi tahuku sedikit pun?

“Oh! Demi Tuhan, aku tidak mengerti! Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang tidak aku ketahui, Bu? Aku mengkhawatirkannya sampai hari ini. Aku menunggunya saat sore itu, berharap ia pulang, tapi ia tidak pulang, tidak memberi tahuku. Ada apa ini?” Aku mulai kebingungan. Apa yang sedang Shota sembunyikan?

“Hari ini, tepat di hari ini...,” ibu Shota berhenti berbicara. Aku rasa ia sedang mencari kata-kata yang pas. Namun, aku sudah tidak sabar mendengarnya.

“Ada apa di hari ini, Bu?”

“Tepat di hari ini adalah tiga tahun peringatan kematian istrinya yang dulu.”

Bohong jika aku tidak mendengar apa yang ibu Shota ucapkan barusan. Kebenaran macam apa itu? Kebenaran macam apa? Apa yang sedang terjadi? Kematian istrinya yang dulu? Shota tidak pernah memberi tahuku ia pernah menikah. Ia tidak pernah sedikit pun memberi tahuku tentang hal ini. Padahal, aku menceritakan semua hal yang Akbar lakukan terhadapku, bagaimana perasaanku dulu padanya, tapi kenapa tidak sedikit pun ia membicarakan kehidupannya? Masa lalunya?

“Aku tidak yakin apa ini benar, namun aku tidak punya pilihan. Kalau kau tidak tahu, aku akan memberitahukannya, Yu. Istrinya meninggal tiga tahun yang lalu saat melahirkan. Keduanya tidak selamat saat proses kelahiran tersebut. Sejak saat itu Shota pergi dari Jepang. Ia memutuskan bekerja di Jakarta dan hidup sendiri meninggalkan Jepang. Namun, setiap tahun, setiap peringatan kematian istri dan anaknya, ia pulang ke Jepang untuk memperingatinya,” kata ibu Shota, sambil mengusapkan tisu ke matanya yang
mulai membasah.

Aku tidak mampu berbicara. Aku tidak tahu, apakah aku sedang terkejut atau tidak percaya pada kenyataan ini. Namun, aku merasa seperti sedang ditampar oleh sesuatu. Pandangan mata itu... aku jadi ingat pandangan mata Shota yang begitu hampa, kosong, seperti ia tidak hidup di dunia ini. Aku jadi mengerti kenapa ia memintaku menikahinya, meskipun ia belum mengenalku waktu itu.

“Tadinya kami takut Shota akan menjadi gila. Aku takut sekali Shota akan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Setelah kematian istrinya, ia menjadi sangat pendiam. Ia tidak pernah menangisi keadaannya, namun sikapnya yang seperti itu malah membuat kami resah. Tiga hari setelah kematian istrinya, tiba-tiba ia minta dipindahkan ke Jakarta. Semuanya sangat tiba-tiba. Enam bulan yang lalu ia datang padaku dan bilang mau menikahimu. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi semua itu terasa aneh bagiku,” ujar ibu Shota, pelan. Aku sendiri masih sangat terkejut dengan kebenaran ini. Aku belum tahu harus berbuat apa.

“Karena itu aku sedikit lega, walaupun terasa aneh, mengetahui ia akan menikah lagi. Setidaknya ia tidak sendiri, itulah yang aku harapkan. Ia tidak sendiri dan melakukan hal-hal bodoh seperti yang pernah dilakukannya setahun yang lalu.”

“Apa yang dilakukannya setahun yang lalu?”

“Di suatu hari ia mengatakan padaku ia ingin bersama dengan istri dan anaknya. Ia ingin menyusulnya. Ia bilang ia ingin secepat mungkin menyusul mereka.”

“Maksud Ibu, ia ingin bunuh diri?”

“Begitulah... aku baru sadar saat mengetahui ia sudah berada di rumah sakit, dengan banyak infus mengalir di tubuhnya.”

“Shota tidak seperti itu. Ia pendiam, tapi tidak seperti itu!” sebisa mungkin aku menangkis kebenaran itu.

“Dulu ia seperti itu. Kuperhatikan belakangan ini, semenjak hidup denganmu, ia sedikit lebih hidup.”

“Lalu... apakah ia akan kembali?”

“Aku sendiri tidak tahu. Biasanya ia akan pulang sehari setelah peringatan kematian itu.”

“Bersabarlah padanya, Yu. Aku sebagai seorang ibu benar-benar memohon padamu. Bantulah ia untuk kembali menjalani hidupnya.”
Aku pikir Shota benar-benar akan datang sehari setelah peringatan kematian istri dan anaknya. Namun, sudah hari kedua ia tidak juga datang. Sudah lima hari Shota tidak kembali ke rumah. Aku sangat merindukannya. Aku merindukan hari-hari kami yang penuh ketenangan, walau hanya berdua dengannya. Aku merindukan genggaman tangannya. Kini, ketika aku tahu kebenarannya, aku makin merindukannya.

Aku berdiri di depan pintu kamar Shota. Ia tidak pernah mengunci pintu kamarnya, namun pintu kamarnya selalu tertutup. Aku memberanikan diri untuk membuka kamarnya. Aroma Shota seperti ada di sekelilingku. Kamarnya tertata rapi. Kulangkahkan kakiku masuk mendekati lemari kecil dekat dengan tempat tidurnya. Aku pikir aku bisa menemukan keterangan lebih jelas mengenai masa lalunya di lemari tersebut, tapi tidak ada sedikit pun keterangan yang menjurus ke sana.

Lewat Secangkir Kopi (7)




Sebelum beranjak dari tempat tidur, aku tersadar tubuhku diselimuti selimut tebal berwarna cokelat. Aku tidak ingat, apakah tadi malam aku memakai selimut atau tidak. Aku pun bergegas turun dari ranjang Shota dan keluar menuju kamarku. Aku masuk ke kamar mandi dan membersihkan tubuhku sebelum turun untuk membuka kedai yang mungkin sudah dibuka oleh Edo (ia punya kunci duplikatnya).

Begitu aku turun beberapa menit, aku melihat selembar note yang ditulis oleh Shota untukku: “Maaf, aku berangkat pagi. Aku buatkan teh untukmu. Bisa dihangatkan, ada di dekat mesin kopi.” Aku menoleh ke arah alat mesin kopi kecil yang warnanya sudah berubah hijau. Aku segera menghangatkan tehnya dan mengambil telepon dekat dapur. Kutekan nomor milik Shota dan sambungan itu terhubung beberapa detik kemudian.

“Ada apa?”

“Hmm... arigatou!” ucapku, riang. Kutempelkan gagang telepon di telinga kananku sementara kedua tanganku sibuk membuka kamus saku Indonesia-Jepang, membolak-balik lembarannya sampai akhirnya menemukan satu kata yang pas untuk berterima kasih padanya. Dari seberang sana, Shota tertawa, mungkin menertawai pengucapanku atau keanehanku menggunakan bahasanya.

“Kenapa tertawa? Aku mau kau menjawabnya, Shota!” aku berpura-pura kesal sambil menyandar di balik dinding tembok. Terdengar suara Edo dari depan yang mulai memanggil namaku, namun aku tak peduli. Aku tetap berada di belakang, menunggu Shota berbicara, berusaha berbasa-basi semampuku agar aku bisa sedikit mendengar suaranya.

“Dooitashimashite,” akhirnya Shota menjawab. Suaranya terdengar jauh lebih hangat di telingaku, jauh lebih ramah dari biasanya. Aku mulai menatap langit-langit dapur. Perlahan dan aku yakin sekali, aku mulai merasakan Shota sebagai canduku. Kami tidak pernah melakukan hal intim apa pun selama kami menjadi sepasang suami-istri, namun keberadaannya memberikan sedikit ruang bagiku untuk bernapas.

Terkadang aku ingin pernikahan kami jauh lebih normal dari biasanya. Aku ingin kami memang seperti sepasang suami-istri. Aku ingin kami mulai saling berbicara dari hati ke hati. Aku menginginkan lebih dari apa yang kami jalani selama enam bulan ini.

“Shota, koishii... matteru yo...”

Kudengar Shota tidak menjawab apa pun. Keheningan makin terasa di antara sambungan telepon kami. Buru-buru kututup telepon tersebut dan berjalan meninggalkan dapur untuk pergi membantu Edo di kedai. Dalam hati aku memang ingin mengatakannya... “Shota, aku merindukanmu.... Cepatlah pulang....”

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Edo sudah pulang. Kini giliran pegawaiku yang lain yang berjaga di kedai. Aku pergi ke dapur untuk menyiapkan kopi. Kubiarkan kopi tersebut tetap panas pada mesin pembuat kopi, agar saat Shota tiba, ia bisa segera meminumnya. Setelah kubuat kopi, aku kembali ke kedai.

Biasanya ia pulang paling lambat sampai pukul enam sore. Aku berusaha menenangkan diriku untuk menunggu hingga satu jam lagi, jika ingin meneleponnya. Aku pun kembali pada aktivitasku. Kulayani kembali para tamu dari mulai petang hingga malam tiba. Para tamuku pun akhirnya keluar satu per satu dari kedai setelah mereka sudah lebih fit untuk kembali ke rumah atau bekerja lagi.

Aku meninggalkan kedai di saat itu juga. Kunaiki tangga menuju lantai atas dengan cepat dan kuraih telepon genggamku. Kutekan nomor Shota, namun ia tidak juga menjawab. Tidak ada sambungan menunggu atau sibuk, yang ada hanya suara seseorang yang mengatakan bahwa telepon di luar jangkauan. Aku mulai khawatir. Aku tekan nomor kantor Shota. Hanya ada mesin penjawab yang menyuruhku memasukkan kode ekstensi untuk dihubungkan ke bagian Shota. Aku makin khawatir ketika mengetahui aku telah menelepon semua nomor telepon Shota, tapi tidak ada jawaban apa pun. Betapa bodohnya bahwa aku tidak mengetahui sedikit pun teman-teman kerjanya yang mungkin bisa kutanya mengenai keberadaan Shota. Akhirnya aku duduk lelah mengamati jendela di ruang atas dan berharap mendengar bunyi mobil Shota.

Sudah lima jam berlalu. Aku tidak tahu di mana Shota berada. Ia tidak memberi tahu sedikit pun ke mana perginya dia malam ini. Aku akan kesal sekali begitu esok pagi ia tiba dan tidak meminta maaf padaku. Ia benar-benar mengesalkan. Aku khawatir setengah mati dan ia seenaknya saja pergi tanpa memberi tahu. Sudahlah, aku mau tidur saja.

Shota belum pulang, padahal sudah dua hari. Aku mungkin sudah bisa melapor pada kantor polisi terdekat kenapa ia menghilang tiba-tiba. Aku bisa memberikan foto dan keterangan yang bermanfaat agar kantor polisi mau membantuku mencari Shota, namun aku tahu itu adalah ide yang paling bodoh. Tentu saja aku tidak akan melakukannya.

Aku menelepon siang harinya ke kantor Shota, menekan ekstensi bagian Shota, kemudian ada seseorang yang mengangkat sambungannya. Seseorang dari tempat Shota pun menanyakan hal yang sama padaku. Shota memang minta cuti selama seminggu, tapi ia tidak tahu ke mana perginya Shota.

Aku kaget mengetahui Shota akan pergi selama itu tanpa memberi tahuku. Biasanya, ia pasti memberi tahuku, walau hanya terlambat satu jam. Biasanya, ia tidak begitu semisterius ini. Setelah selesai berterima kasih, kuputuskan saja untuk menitipkan kedai pada Edo yang sedang libur semesteran, sementara aku pergi mencari Shota.

Tempat pertama yang kukunjungi adalah apartemen Shota yang dulu. Mungkin saja ia kembali ke apartemennya sementara waktu ini. Aku tidak menemukan Shota di sana. Pintu apartemennya terkunci. Saat kutanya salah seorang keamanan di tempat tersebut, tempat itu memang sudah tidak dihuni selama enam bulan.

Aku tidak berminat sama sekali membuka kedai kopiku keesokan harinya. Aku meliburkan pegawaiku hari ini. Aku pun tidak berniat bangun dari tempat tidurku. Aku menunggu teleponku berdering dan mungkin saja Shota menelepon. Tepat ketika aku memikirkan hal itu, telepon rumahku pun berdering. Buru-buru kuangkat telepon tersebut untuk memastikan apakah suara yang berada di sambungan telepon itu adalah suara seseorang yang amat sangat kurindukan. Ketika suara wanita terdengar, aku kembali tak bersemangat. Ternyata, salah satu temanku menelepon. Ia memintaku datang ke acara reuni.

Begitu kumatikan teleponnya, aku duduk menyandar. Telepon tersebut kembali berdering. Saat kuangkat, lagi-lagi ini suara wanita. Aku baru saja ingin mematikannya waktu aku tahu bahwa ini suara wanita yang berbeda, yang jarang sekali kudengar suaranya. Waktu tahu bahwa yang menelepon adalah ibu Shota, mertuaku, aku terkesimak.

“Aku mau bertamu ke rumahmu, Ayu,” begitu kata mertuaku.
“Lama menunggu, ya, Nyonya Hajime?”

Aku membawa nampan berisi secangkir teh hangat dan kue-kue kecil. Mertuaku terlihat sangat menawan di usianya yang tidak muda lagi. Wajahnya yang cantik itu membuatku yakin bahwa Shota mewarisi sebagian besar ketampanannya dari wanita ini. Ia duduk dengan anggun di sofa merah tempatku dan Shota biasa menghabiskan waktu.

“Tidak berubah, ya. Rumahmu sangat rapi, semuanya tersusun dengan baik.” Aku menunduk mendengarkannya berbicara. Sebenarnya, ide membuat rumahku tampak rapi karena Shota. Jika bukan Shota yang mengaturnya, mungkin rumah ini akan terlihat sangat berantakan.

“Shota sedang bekerja, ya?” akhirnya Nyonya Hajime menanyakan keberadaan putranya. Pandangannya kemudian teralihkan oleh satu kamar di depannya. Ia tidak tahu kalau sejak pertama kami memang tidak tidur sekamar.

“Kamar itu dijadikan Shota untuk tempat menyimpan barang–barangnya,” kataku, berbohong.

Lewat Secangkir Kopi (6)




Yang bisa aku harapkan hanya Shota bersedia untuk menceritakan padaku isi pembicaraan itu.

Tidak sampai setengah jam, tamu itu sudah berpamitan. Aku segera bergegas menghampiri Shota. Namun, belum sampai aku ke mejanya, Shota buru-buru melangkah ke belakang, menaiki anak tangga ke lantai atas. Aku mendengar pintu kamarnya tertutup keras. Cepat-cepat aku mengejarnya.

“Shota... Shota...!”

“Ada apa?” Shota menjawab. Nada bicaranya terdengar sedikit tak terkontrol. Aku mengetuk pintu kamarnya lagi. Shota pun menyahut dari dalam bahwa ia tidak ingin diganggu, oleh siapa pun. Aku terdiam ketika itu. Aku tidak mengerti kenapa Shota jadi bersikap aneh setelah beberapa detik yang lalu ia bersikap sangat hangat kepadaku. Aku mengalah. Kuputuskan untuk kembali turun ke kedai sambil menunggu Shota keluar
dari kamarnya.

Di depan kasir kedai, Edo menanyaiku tentang rencana kepergian Shota ke Jepang. Aku sedang melamun sehingga tak kudengar pertanyaan Edo. Dia pun harus bertanya untuk kedua kalinya. Karena aku tidak tahu sama sekali apa yang ia maksud, aku hanya bisa menggeleng.

“Ke Jepang apa?”

“Lho, memangnya Mbak Ayu nggak tahu? Memangnya tadi nggak dengar Shota-san bilang apa?” Edo bertanya padaku, sengaja memperhitungkan penguasaan bahasa Jepang-ku yang boleh dibilang nol jongkok. Aku menatap kesal ke arahnya.

“Sori, nih, bukannya nyindir, Mbak.

Tapi, Shota-san kayaknya mau pergi ke Jepang, deh!”

“Kamu tahu dari mana, Do?”

“Mbak, tadi aku dengar sendiri waktu Shota-san ngobrol sama tamunya. Si tamu bilang, dia harus segera pergi ke Jepang. Begitu...,” Edo menjelaskan padaku. Aku lupa, Edo mengambil kuliah jurusan bahasa Jepang. Sudah pasti ia mengerti apa yang dibicarakan oleh mereka. Aku segera mendekati Edo dan memintanya mengingat semua hal yang ia dengar dari perbincangan Shota dan tamunya. Sayangnya, Edo cuma dengar bahwa si tamu mau ke Jepang, itu saja.

Biasanya, aku baru tutup kedai ketika malam sudah tiba. Namun, kali ini aku tutup lebih awal. Edo telah pulang dan aku menutup semua gorden jendela kedai. Kudengar langkah Shota menuruni tangga menuju dapur belakang. Aku segera menyiapkan makan malam untuknya. Shota duduk di dekat halaman belakang. Tubuhnya menyandar pada tembok dan pandangannya tertuju pada tanaman-tanaman kecil yang tertata rapi dalam berbagai macam pot berukuran kecil. Ia mengenakan celana panjang dan sweater panjang bertudung. Ia kelihatan kaku seperti biasanya.

“Aku mau kopi,” Shota berbicara pelan, tapi matanya tidak menoleh ke arahku.

Aku ke dapur untuk menyiapkan kopi untuknya. Begitu aku kembali sambil membawa kopi, kutemukan Shota telah ketiduran. Ia kelihatan sangat letih, walaupun hari ini tidak bekerja. Ia terlelap menyandar pada dinding tembok. Tangannya terlipat dan kacamatanya sedikit turun tersangkut pada batang hidungnya yang mancung. Aku mendekatinya. Tadinya aku cuma ingin membangunkannya dan menyuruhnya makan. Tapi, melihat tidurnya yang pulas itu, aku mengurungkan niatku.

Kupandangi wajahnya yang putih kepucat-pucatan. Kugerakkan tanganku perlahan menyentuh kacamatanya. Aku ingin membetulkan posisinya, tapi sulit sekali, karena itu kulepas kacamata itu dari pandangannya. Tidak kuat menahan betapa memesonanya dia, kubiarkan tanganku lancang menyentuh kulitnya, menyentuh wajahnya, menyentuh setiap bagian kecil dari hidupnya. Aku pun ingin menyentuh hatinya.

Aku tidak tahu apa yang sedang kurasakan, apa yang sedang Shota rasakan. Kami seperti terjebak dalam satu situasi yang sama. Kami telah hidup bersama, membawa masalah hidup kami masing-masing. Aku tidak pernah tahu apa yang pernah dialami oleh Shota. Namun, melihat pandangan matanya yang terlihat tidak hidup, aku mengerti bahwa persoalannya jauh lebih sulit dari yang kupunya. Tapi, Shota berbeda dari laki-laki yang pernah kukenal. Aku merasakan kehangatan yang luar biasa setiap kali duduk di sisinya, mendengarnya berbicara dengan nada yang kaku. Aku merasa sangat aman berada di sisinya.

Kusentuh kembali wajahnya yang kelihatan lelah. Kupandangi berulang kali sesosok dirinya di hadapanku. Aku tidak yakin, bisakah seumur hidup aku bersama pria ini? Pria yang diam-diam menghangatkan hatiku yang sudah membeku?

Shota terbangun ketika itu juga. Perlahan, kedua matanya mulai terbuka. Cepat-cepat aku menjauh darinya. Kuberikan secangkir kopi untuknya, namun ia menolak. Aneh mengetahui bahwa kali ini ia menolak kopiku.

“Maaf, Yu, aku ngantuk sekali….”

“Tidak apa-apa,” kujawab seadanya. Shota menatapku ketika itu. Lama sekali.

“Kalau boleh, maukah kau tidur bersamaku malam ini? Maukah kau menemaniku malam ini?”

Jantungku berdetak kencang saat kata-kata itu terdengar di telingaku. Shota tidak berhenti menatapku. Aku menunduk mengetahui ia tidak berhenti mengalihkan pandangannya dari hadapanku. Aku tidak menjawabnya. Aku takut sekali mengatakan ya. Aku takut juga akan menolaknya. Secara hukum kami benar-benar sah untuk tidur bersama, tapi apa perasaan ini juga akan mengesahkan dua insan yang saling menyimpan misteri hidupnya?

“Kenapa tidak dijawab?” Shota bertanya, pandangannya masih belum lepas dariku. Ia beranjak dari tempatnya, mendekatiku, memegang telapak tanganku. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, namun ada kekuatan yang begitu besarnya merobohkan semua pertahananku. Ada kekuatan besar yang membuatku diam tak berdaya mengiyakan semuanya. Shota menggandeng tanganku, menuntunku menuju kamarnya. Ia menyihirku untuk naik ke ranjang dan berbaring di sampingnya.

“Aku ingin kau tetap berada di sampingku, itu saja.”

Shota memelukku dari belakang. Aku berbaring dengan perasaan tak keruan. Sebagian tubuhku merasakan kehangatan yang lembut, beberapa di antaranya merasakan ketegangan yang luar biasa. Shota tetap melingkarkan tangannya ke tubuhku. Berulang kali ia mengatakan bahwa ia sangat kedinginan. Makin dingin yang ia rasakan, makin kencang lingkaran tangannya di tubuhku. Aku balikkan tubuhku, menghadap ke arahnya.

Suhu tubuhnya dingin sekali, sementara aku benar-benar merasa panas. Apa yang dirasakan oleh Shota? Kenapa hanya ia seorang yang merasa begitu dingin? Apa ia kena demam? Aku mulai khawatir. Kuperiksa kepalanya dan suhu tubuhnya. Kepalanya panas sekali. Aku segera beranjak dan mencari termometer. Kupasangkan pada ketiaknya, dan begitu termometer itu berbunyi, suhunya mencapai 39 derajat Celsius.

Aku turun untuk mengambil baskom berisi air hangat. Kuambil handuk kecil dan kukompres kepalanya berulang kali. Aku tidak bisa diam menunggunya. Apa yang membuatnya demam? Seharian ini ia ada di rumah, kok! Kuingat-ingat lagi apa yang telah dilakukannya sejak pagi tadi. Aku baru ingat, ia belum makan. Mungkin ia demam karena telat makan sejak siang tadi. Bagaimana bisa aku lupa kebiasaan buruknya itu? Aku cari obat penurun panas. Setelah ia meminumnya, ia kembali tertidur. Aku kompres lagi kepalanya dan aku cek lagi apakah suhu panasnya sudah turun. Kulakukan itu berulang-ulang. Aku pun mulai mengantuk dan terlelap di sampingnya hingga pagi.

“Shota?” tanganku meraba-raba sisi kiri kasur agar mendapati tubuh Shota di sampingku. Waktu tanganku terus menjelajah, Shota tidak tergapai. Aku segera terbangun. Aku melihat ke arah jam dinding Shota dan melihat jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Sial!! Lagi-lagi aku kesiangan!

Lewat Secangkir Kopi (5)




Cepat–cepat Shota menghilang dari sampingku, melepaskan genggaman tangannya dan bergabung dengan kerumunan di depan sana. Ia tidak merasa letih untuk mengantre, walaupun panjang sekali. Aku menunggu Shota, menunggunya memegang tanganku lagi. Beberapa menit kemudian, ketika sampai di menit ke-15, ia datang membawa dua kotak berisi makanan berbentuk bundar seperti bakso. Hanya, warnanya kelihatan merah kecokelatan dan di atasnya diolesi mayones.

Tahu–tahu saja ia menggunakan sumpitnya untuk mengambil satu bola takoyaki itu. Ia menadahkan tangan kirinya di bawah bola itu agar saus takoyaki-nya tidak jatuh ke pakaian kami dan ia menjulurkan bola tersebut ke arahku, ke arah mulutku.

Aku terkejut melihat sikap Shota yang tiba–tiba sangat manis kepadaku, meskipun wajahnya masih tetap belum mau tersenyum. Pelan–pelan kubuka mulutku hingga bola tersebut masuk. Shota menatapku kemudian mengatakan sesuatu yang rasanya terdengar seperti mengajakku memasak atau apalah. Karena pikiranku tertuju dengan hal lain, maka aku meminta Shota mengulang kata–katanya.

“Nanti kita buat yang seperti ini di rumah, ya?”

Demi Tuhan! Benarkah ini Shota? Shota yang tinggal selama enam bulan bersamaku dan tidak suka banyak bicara? Juga tidak menyukai keramaian? Benarkah ini Shota yang secara tertulis merupakan suamiku? Aku hampir tidak percaya Shota bisa berubah seperti itu. Kenapa ia malah membuatku jadi salah tingkah dan tidak keruan begini?

Shota kelihatannya tidak melihat keanehanku karena ternyata ia sudah beranjak dan berjalan menuju kerumunan kedai es serut. Buru–buru aku mengejarnya, tapi Shota sudah menghilang di balik kerumunan. Aku menghentikan langkahku sambil menghela napas. Aku tidak mengenalnya... aku tidak mengenal pria ini... Shota tampak di luar pengetahuanku.

“Untukmu!” Tiba–tiba Shota datang dengan membawa 2 mangkuk kecil berisi es serut berwana merah dan hijau. Ia memberikan yang merah kepadaku. Tanpa pikir panjang, aku mengambilnya. Tangan yang hangat itu kembali menyentuh tanganku. Aku berusaha meredam rasa gemetar yang timbul di dadaku. Mata Shota tidak sedikit pun menoleh ke arahku.

Aku merasakan tangannya basah berkeringat. Mungkin kami

berdua merasakan getaran yang tidak semestinya, walaupun kami malu mengakuinya.

Aku membiarkan tangan Shota menggenggam tanganku, membawaku pergi ke mana pun menuju tempat yang ia inginkan, menuju berbagai cahaya pelangi yang mulai menyala seiring hari yang makin gelap. Ia menarikku menuju warna terang kembang api di angkasa malam dan membiarkan kehangatan ini tetap terjaga.

Mengingat bahwa tadi malam aku seperti sedang mendapatkan mimpi indah, maka aku bangun sangat telat keesokan paginya. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi, saat kulihat jam weker. Buru–buru aku turun ke lantai bawah dan mempersiapkan kedaiku. Aku berdiri tepat di atas anak tangga terakhir waktu kulihat kedaiku sudah dibuka. Aku melihat sepintas, Edo sedang melayani para tamu, para pekerja yang lain sedang membereskan pesanan, dan Shota sedang melayani para tamu. Hah? Tidak salah?

“Tuan putri sudah bangun!” tahu–tahu Edo berseru. Hampir dari beberapa tamu tertawa melihatku. Shota menoleh ke arahku kemudian menyunggingkan tawa kecilnya padaku. Buru–buru aku melangkah ke atas dan masuk ke kamar mandi. Shota tidak kerja? Bukannya hari ini hari Senin?

“Shota-san membantu membuka kedai, Mbak! Maaf, ya, nggak nunggu Mbak Ayu dulu,” Edo takut–takut menatapku, ketika aku sudah ikut berada di bawah membantu mereka.

Bukan itu yang aku permasalahkan, sungguh! Aku hanya bingung kenapa Shota hari ini tidak bekerja? Aku ingin bertanya padanya sejak tadi, tapi dia kelihatan sangat menikmati bekerja membantu kedaiku. Jadi, aku tidak bisa lagi bertanya apa pun. Shota beristirahat sebentar, saat tamu sudah mulai pulang.

Karena tidak banyak tamu di siang hari, aku menyusul Shota ke belakang. Ia sedang merapikan buku–buku yang kemarin ia kumpulkan bersama Edo. “Belum ada kopi untukku hari ini,” tanyanya tiba–tiba, nadanya datar. Aku jadi tersadar. Aku memang belum sempat membuatkan secangkir kopi panas untuknya. Buru–buru aku ke dapur dan menyajikan secangkir kopi untuknya. Shota segera mengambil cangkir tersebut beserta tatakannya. Ia meniup kopi itu dan menyeruputnya.

“Sebenarnya aku ingin menunjukkan sesuatu padamu, tapi barangnya belum jadi. Besok saja, deh,” Shota kembali berbicara. Nadanya masih sama. Ia memang bukan orang yang menyenangkan untuk diajak berbicara.

“Memangnya ada apa?” aku bertanya.

“Sesuatu, sebenarnya untukmu. Aku sengaja memesannya. Mungkin baru akan dikirim dua atau tiga hari lagi, kalau cepat. Tapi, bisa juga seminggu kalau terlambat.”

“Sesuatu apa?” aku bertanya lagi, lebih pada penasaran. Sebelumnya Shota tidak pernah memberikanku sesuatu.

“Nanti lihat saja kalau sudah datang.”

Karena ia sudah berbicara seperti itu, maka aku tidak lagi bertanya. Aku ingin beranjak dari sisi Shota, aku benar–benar ingin beranjak dan membantu Edo, tapi aku seperti tertahan untuk tetap berada di sampingnya.

“Mau buat apa?” sebisa mungkin aku berbasa–basi.

Shota menoleh ke arahku. Alis kanannya terangkat sementara kacamatanya sedikit turun. “Kenapa tanya?”

“Tidak boleh bertanya, ya?” aku tertawa.

“Bukan. Kenapa kau bertanya seolah–olah kau tidak tahu?” Shota masih memandang ke arahku. Matanya seperti menangkap basah rasa gugupku.

“Maksudmu?” aku mulai salah tingkah.

“Edo kan sudah memberi tahumu.” Ya, Tuhan! Aku benar–benar tidak suka caranya memandangku. Ia seperti ingin memakanku hidup–hidup.

“Memang kenapa kalau aku bertanya lagi padamu?”

“Lucu saja!” kali ini ia tertawa kecil. Bola matanya mulai sedikit menyipit. Aku baru menyadari bahwa ia memiliki lesung di pipi kirinya. Bulu matanya tampak lebih lebat dan tidak melengkung turun seperti pria oriental, yang pernah kutemui pada umumnya. Aku hampir saja tersihir oleh sosok pria ini.

Tamu Shota duduk di kursi favorit Shota ketika ia masih menjadi pelanggan setiaku. Ia terus melihat ke arah jendela dan memandangi jalan raya pada siang menjelang sore itu. Saat Shota menghampirinya, baru ia menoleh dan menyalami Shota. Melihat caranya memberikan salam dan mendengarnya berbicara, ia pasti orang Jepang. Shota memang beruntung mempunyai ibu yang punya darah Indonesia, sehingga ia bisa berbahasa Indonesia dengan lancar, walau terhitung belum lama tinggal di Jakarta.

Tadinya aku ingin mengantarkan teh ke meja mereka. Tapi, aku memperhatikan lagi, pembicaraan mereka sangat serius. Tidak pelan tidak juga terdengar keras oleh tamu-tamu lainnya memang, namun pembicaraan mereka terlihat tidak boleh diinterupsi. Akhirnya kuurungkan niatku.

Terus terang, aku benci sekali mendengar Shota berbicara bahasa ayahnya, bahasa yang tidak sekali pun kumengerti. Ingin sekali kudatangi Shota untuk memintanya berbahasa Indonesia saja. Namun, mengingat bahwa statusku cuma teman hidup dalam arti yang sebenarnya, kuputuskan untuk diam.

Lewat Secangkir Kopi (4)




Mataku terpaku ke arah kotak persegi di atas tempat tidurku. Kotak persegi dengan warna krem itu berisi kimono yang diberikan ibu Shota sebagai kado pernikahanku. Kimono itu berwarna merah keemasan dengan corak bunga–bunga yang indah yang mengelilingi sisinya. Sudah sejam lamanya aku berdiri hanya untuk memastikan apakah aku akan memakai pakaian tersebut atau tidak. Tapi, jika aku memakainya, ini akan menjadi momen yang pas, karena kami berdua akan pergi ke acara hinamatsuri, festival boneka Jepang.

Aku belum pernah memakai kimono. Terus terang, aku tidak tahu bagaimana caranya. Namun, masa bodoh dengan cara memakai, toh, aku pernah lihat beberapa film Jepang yang memakainya dan sepertinya mereka tinggal memakai baju tersebut dan mengikatnya dengan tali lebar. Tadinya aku memang berpikiran begitu. Pada kenyataannya, setelah aku memutar otakku untuk memakainya, hasilnya tidak pernah secantik yang kulihat di film-film. Aku kesal sekali, apalagi pakaian tersebut membuatku kepanasan.

Shota mengetuk pintu kamarku, karena waktu pergi kami terlambat satu jam akibat kimono ini. Aku berteriak padanya agar bisa sedikit lagi menungguku. Ia tidak menjawab, tapi dari bunyi siaran teve di ruang keluarga, itu artinya ia setuju. Aku kembali lagi mengusahakan kimono ini tampil cantik di tubuhku. Kulilitkan ikatan lebar tersebut di pinggangku, dan hasilnya lumayan, walaupun tidak sesempurna wanita Jepang.

Aku keluar dari kamar. Pandangan Shota masih tertuju pada layar kaca, walaupun aku telah mondar-mandir di depannya, mencari sepatu yang pas untuk padanannya. Shota akhirnya mematikan siaran teve dan menuju kulkas. Ia menuangkan jus jeruk di gelas, kemudian meminumnya. Aku sibuk mencari sandal yang kuletakkan di atas lemari bajuku.

Tahu–tahu Shota sudah di sampingku. Ia mengangkat tangannya, kemudian menurunkan kotak sandal, memberikannya padaku. Aku berterima kasih padanya dan segera mengajak Shota berangkat. Aku berjalan menyusuri anak tangga perlahan–lahan (tahu bahwa memakai kimono benar–benar menyebalkan, aku tidak akan memakainya) dan Shota mengikutiku di belakang. Ketika di anak tangga terakhir, langkahku terhentikan oleh sesuatu. Aku pikir kimonoku tersangkut sesuatu, tapi ternyata tangan Shota yang menarik kimonoku.

“Ada apa?” tanyaku, bingung.

“Bisa pakai kimono?” pertanyaan Shota yang singkat itu jelas membuatku kesal. Aku tahu aku belum pernah memakai kimono sebelumnya. Mana aku tahu juga bahwa kimono setebal itu!

“Mau meledekku, ya?” tanyaku, kali ini dengan ketus.

Ia tidak menjawab, tidak sedikit pun menjawab pertanyaanku dan tidak juga memberikan gesture bahwa ia memang menjawab pertanyaanku. Yang ia lakukan malah menarik tali kimonoku, hingga ikatannya terlepas begitu saja dari tubuhku. Aku terkejut! Bisa–bisanya dia melakukan hal itu padaku! Aku pun sedikit ketakutan. Kami belum melakukan apa–apa selama enam bulan ini.

“Diam saja!” tiba–tiba Shota berbicara. Ia mengambil ikatan lebar yang jatuh di lantai dan menyuruhku diam. Kemudian ia mendekatiku, merapikan kain kimonoku dengan sangat hati–hati. Ia terlihat sangat cekatan dan terampil. Terkadang ia menyuruhku berputar kadang mendongak. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya, namun rasanya ia begitu berkonsentrasi.

Setelah kain kimonoku selesai dirapikan, ia mengikatkan tali yang panjang dan lebar itu ke pinggangku. Ia melilitkannya perlahan dan kencang, mirip seperti melilitkan korset Jawa setiap mengenakan kebaya. Ia menyisakan pinggiran ikatannya dan membiarkan tangannya melakukan sesuatu pada ikatan kimonoku. Aku tidak yakin apakah ini akan berhasil, sampai kulihat dengan mata kepalaku sendiri saat ia menyuruhku bercermin.

Entah kenapa, kimono berwarna merah pemberian ibunya jadi tampak sangat indah kukenakan. Saat aku memutar ke belakang dan melihat ikatannya, aku juga tidak mengerti kenapa ikatan berwarna keemasan itu jadi tampak sangat manis dan menawan. Ada bentuk pita besar yang bersanggah dengan eloknya di pinggang belakangku. Aku tersenyum puas melihat mahakarya yang dilakukannya. Aku pun tidak sanggup mengucapkan terima kasih padanya. Seluruh mulutku seperti terkunci dan terpana oleh caranya memakaikan kimono tersebut padaku.

”Ayo, kita berangkat!” Shota memecah kebodohanku. Ia menarik tanganku, memegangnya, dan membawaku turun dengan terburu–buru. Kali ini aku tidak bisa lagi berbicara. Aku hanya mengangguk mengiyakan perkataannya, namun hati ini... tanpa kuketahui berdetak begitu kencang.

Ia mengendarai mobil dalam kesunyian.

Ia mengendarai mobil dalam kesunyian. Tidak ada salah satu di antara kami yang mencoba untuk berbicara atau setidaknya memecah keheningan ini. Tidak ada musik, tidak ada percakapan bodoh, tidak ada suara berisik radio. Hanya ada aku dan dia. Ketika kami sampai pun tidak ada salah satu dari kami yang berbicara. Ia menunduk mengunci mobilnya dan membawaku menuju lapangan festival, lagi–lagi memegang tanganku.

Aku menurut mengikuti Shota pergi membawaku menuju lapangan festival. Ada rentetan lampion kecil yang panjang dari berbagai sisi lapangan dengan warna merah, putih, dan keemasan. Aku suka pemandangan suasana ini, ketika matahari yang bersinar segera ingin menutup matanya untuk beristirahat dan bangun di keesokan hari.

Shota pun kelihatan menikmatinya. Wajahnya terlihat tidak pucat seperti biasanya. Matanya yang cokelat muda itu terlihat indah, berbeda dari pandangannya yang entah berada di mana selama ini. Baru aku sadari ia sangat tampan. Untuk ukuran pria berwajah oriental, ia tampak memukau di antara pria-pria lainnya.

Selama ini aku terlalu memikirkan diri sendiri, memikirkan bagaimana perasaanku dan yang lainnya, namun aku sama sekali tidak melihat ke arahnya. Shota menoleh ke arahku, waktu mengetahui aku memperhatikannya. Kacamata berbingkai hitamnya terlihat sedikit turun hingga ke ujung batang hidungnya yang mancung. Ada sedikit kerutan di dahinya, namun kerutan itu tidak sedikit pun menghapus ketampanannya. Aku baru memperhatikan keseluruhan wajahnya, alis matanya yang terbentuk indah, bibirnya yang merah bagaikan buah cherry, dan warna hitam rambutnya yang tertata membentuk layer ke atas pundaknya. Tipikal pria oriental, lagi–lagi aku menilai.

“Berapa umurmu?” tidak terpikir olehku bahwa aku akan menanyakan pertanyaan semacam itu. Aku segera menundukkan wajahku, begitu mengetahui pertanyaanku benar–benar bodoh.

Shota tidak sedikit pun melepaskan pegangan tangannya. Ia malah sedikit meremas pergelangan tanganku dan kemudian menarikku menuju stan makanan.

“Pernah makan takoyaki?” lempar Shota ringan. Hari ini ia lebih banyak berbicara. Aku menandai yang satu itu.

“Belum pernah!” ucapku jujur. Selama ini aku memang belum pernah datang ke acara festival seperti ini. Aku tidak tahu banyak tentang Jepang, kecuali bahwa negara ini pernah menjajah negaraku. Aku tidak tahu banyak tentang Jepang kecuali sushi, itu saja.

“Kalau begitu tunggu di sini!”

Lewat Secangkir Kopi (3)




“Do, aku kan sedang serius konsentrasi. Kok, kamu gangguin.”

“Konsentrasi apa, sih, Mbak?” ledek Edo.

Anak ini sering betul membuatku tersipu malu atau kadang–kadang bertingkah aneh. Mungkin karena aku memang tidak punya saudara di rumah, berhubung aku anak tunggal, keberadaan Edo sangat membuat hatiku kembali muda. Kekonyolannya dan hal–hal bodoh yang ia lakukan sejujurnya membuatku senang.

“Kamu sudah makan?” Aku menoleh ke arah Edo. Kali ini ia sedang membuatkan secangkir ice cappuccino dengan sepiring kecil croissant. Edo mengangguk ke arahku. Aku bermaksud mengajak Edo bergabung untuk makan bersama dengan Shota, jika ia belum makan. Tapi, karena Edo sudah makan, aku segera meninggalkannya menuju satu ruangan paling spesial yang Shota dan aku pakai sebagai ruang makan kami.

Aku berjalan melewati lorong di belakang kedai ke satu ruangan yang di belakangnya ditumbuhi tanaman–tanaman hijau dan beberapa bunga berwarna mencolok. Pintu ruangan tersebut langsung menuju halaman belakang. Sebenarnya ruangan ini baru dibuat Shota seminggu setelah kami menikah, enam bulan yang lalu. Ia menginginkan suasana yang sedikit bergaya Jepang kemudian membuat tatami kecil dengan bantalan duduk, meja persegi yang lebar dan berkaki pendek. Pemandangan halaman belakang yang asri serasa menyapa kami di sebelah kanan ruangan yang dibuka.

Shota sudah duduk di bantalan tersebut. Pandangannya tertuju pada kebun belakang. Begitu mendengar aku masuk, pandangannya teralihkan. Rambut hitam Shota yang panjang tapi tidak gondrong itu terlihat basah. Ia wangi sekali. Ia selalu begitu.

“Maaf, ya, kedai sedang ramai,” aku membuka percakapan. Lalu, kuletakkan lauk-pauk yang aku hangatkan beberapa menit yang lalu dengan semangkuk sayur bayam kesukaannya.

“Kau tidak perlu seperti itu setiap hari,” ucap Shota tiba–tiba.

Aku tidak mengerti perkataannya.

“Kau tidak harus melayaniku setiap hari, Yu. Aku bisa melakukannya sendiri.”

“Kau kan tinggal bersamaku di sini. Aku nggak bisa mengabaikanmu begitu saja,” jawabku apa adanya.

“Aku tidak mau merepotkan.”

“Tidak ada yang direpotkan. Aku biasa melakukan ini, kok. Bahkan, jauh sebelum kau datang, aku memang kebagian jadi seksi masak-memasak di acara kumpul–kumpul,” aku berusaha menghilangkan kekakuan dengan melucu. Jelas sekali aku kehilangan bakat humorku belakangan ini. Shota tidak tertawa sama sekali.

Sejak kejadian menyakitkan itu, entah kenapa, aku sering menarik diri dari teman–temanku. Dan kalau bisa, menjauhkan diri dari banyak orang yang mengenalku, tapi tidak benar–benar mengenalku. Mungkin kejadian menyakitkan itu bisa dengan mudah kulupakan, namun sakit hati dan malu yang kurasakan tidak juga hilang. Hingga saat ini. Bahkan, ketika Shota duduk di sampingku dan mengucapkan janji pernikahan. Aku tetap tidak bisa melupakan rasa sakit ini.

Harusnya aku sudah menikmati keluarga yang bahagia, jika Akbar memang benar–benar ingin menikahiku. Harusnya aku sudah mendambakan seorang anak darinya, jika ia memang telah menjadi suamiku. Entah kenapa, aku begitu memercayai semua hal yang pernah ia katakan. Aku sangat mencintainya... dulu.

“Aku tidak suka melihatmu melamun!” suara Shota terdengar, bagai tanda bagiku untuk kembali ke dunia nyata.

“Aku tidak melamun,” tangkisku.

Kami berdua pun akhirnya diam dan menikmati makan malam kami penuh keheningan. Setelah selesai makan, Shota beranjak dari tatami dan berjalan ke luar ruangan. Aku membereskan piring–piring kotor dalam diam. Udara terasa sangat dingin bagiku, walau keadaan yang sesungguhnya sangatlah berbeda.

Namun, tiba-tiba ada kehangatan kurasakan menjalar di pergelangan tanganku. Ketika aku menoleh, Shota telah memegang tanganku. Ia menatapku, tapi aku tidak pernah merasakan tatapannya hadir di dalam hatiku. Aku sangat terkejut pada sikap Shota yang seperti itu. Aku pikir ia telah beranjak dari ruangan ini.

“Jangan pikirkan dia lagi...,” akhirnya ia berbicara, pelan.

Aku hanya bisa mengangguk. Diam-diam, ada ketenangan mengalir di dadaku.
Shota sebenarnya sama seperti kebanyakan pria pada umumnya. Ia bekerja pagi–pagi dan pulang di sore hari. Ia mengendarai SUV yang sama seperti hampir kebanyakan pria di sini. Hobinya membaca buku dan buku. Aku belum pernah melihatnya diam tanpa buku di sampingnya.

Ia pendiam, sangat pendiam. Beberapa minggu sejak kami menikah, Shota jarang sekali berbicara denganku. Jika berbicara, ia hanya mengeluarkan sepatah dua patah kata singkat seperti ‘terima kasih’, ‘aku pergi’.

Sebenarnya, aku merasa sangat berterima kasih pada Shota karena mau menikahiku, meski saat itu kami belum saling mengenal. Aku pun tidak tahu siapa namanya, dulu. Yang aku tahu, di sore itu, ia datang kepadaku dan mengajakku menikah. Karena ia pendiam dan tidak banyak bicara, aku merasa sangat aman, tidak tahu kenapa.

Suatu ketika, beberapa minggu setelah pernikahan kami, aku duduk diam di lantai satu, tempat kedai kopiku. Saat itu aku baru saja tutup dan kumatikan seluruh lampu kedai. Hatiku sangat kacau, karena baru saja melihat Akbar melewati kedaiku dan sedang bersama wanita lain. Aku kalut. Shota berada di lantai dua. Suatu nilai plus bahwa ia tidak melihatku yang sedang kacau. Ketika semua gorden sudah tertutup dan semua lampu kedai dimatikan, aku menangis. Aku menangis sekencang–kencangnya melihat pemandangan tersebut.

Mungkin tangisku terlalu kencang, karena Shota tiba–tiba berdiri di hadapanku yang sedang penuh air mata. Ia tidak banyak bicara, hanya memberikan tisu kepadaku. Ia menemaniku menangis sampai pagi tiba. Ia tidak tidur, tidak juga memelukku. Ia hanya diam dan menemaniku. Di pagi itulah akhirnya aku menceritakan padanya seluruh rentetan menyakitkan yang kualami karena pria bernama Akbar.

Edo pergi kuliah pagi ini, jadi ia baru akan datang ke kedai setelah makan siang. Hari ini kedai tidak terlalu ramai, makanya aku bisa sedikit santai dan mulai membuka laptop-ku. Sudah lama aku tidak membuka komunitas sosialku di dunia maya.

Salah satu temanku men-tag salah satu acara kebudayaan. Ia mengundang datang sambil membawa suamiku. Sepertinya tawaran yang bagus, lagi pula sudah lama aku tidak bersenang–senang di luar rumah. Aku segera menuliskan komentar: ‘aku akan datang’.

“Bagaimana?”

“Apanya?”

“Apakah kita akan ikut?”

Aku mengikuti Shota menaiki tangga menuju lantai dua, ketika ia tiba dari kantor. Aku tahu ia mulai risi aku ikuti terus sejak turun dari mobil. Ia duduk di sofa maroon kesayangan kami dan minum secangkir kopi panasnya.

“Aku juga punya undangannya.” Shota menoleh ke arahku.

“Hah? Apa?”
“Sebenarnya aku sudah punya undangannya sejak beberapa hari yang lalu. Aku bingung mau datang atau tidak. Masalahnya aku tidak terlalu menyukai keramaian... tapi aku diharuskan datang. Beberapa teman kerjaku menjadi panitianya.”

“Lalu?” tanyaku lagi.

“Tadinya aku ingin mengajakmu,” ia menjawab. Saking senangnya, aku meremas pergelangan tangannya dan tertawa gembira!

“Ooh, demi Tuhan, Shotaaaa! Aku senang sekali!”

Aku lalu memeluknya penuh cita. Ia tidak banyak berbicara, hanya tersenyum. Mungkin aku terlalu kencang memeluknya, karena rasanya ia berteriak padaku bahwa ia tidak bisa bernapas.