Pages

Friday 22 November 2013

Diary Nada



Wahai penilai hati lihat bathin ku
Nyaris bernanah karena luka tersayat
Merana menantikan cinta dan kasih hidupku
Rahasia itu hanya kau yang tahu
Namun aku tak mau jadi tuna cinta
Tuntun hatiku dalam sabar menanti jodohku


Alunan sebuah lagu dari salah seorang penyanyi wanita yang didaulat sebagai diva Indonesia itu memenuhi ruang dengar Nada. Hatinya bergemuruh, persis seperti malam itu. Kilatan bergaris saling bersahutan di langit hitam luar sana. Tatapnya nanar memandangi wajah seseorang yang sangat tak asing baginya. Wajah yang tergambar dalam sebuah kertas foto tersebut, lekat dipandanginya. Sesaat hujan turun, diikuti oleh hujan yang melembabkan mata almondnya.
Nada sesegukan mengingat-ingat kembali masa-masa itu. Masa di mana rasa yang tak biasa di hatinya mulai mengganggu. Di satu sisi, dan sisi lainnya menjadikan Nada menjadi lebih riang, bak bunga yang tengah bahagia menunggu masa mekarnya. Rasa yang bagaikan tetesan hujan di batas kemarau, mendinginkan di tengah kegersangan. Ya.. Rasa Itu.
Semua berjalan cepat, hingga Nada tahu, bahwa sosok ikhwan yang ada di foto itu, menaruh rasa yang sama padanya. Seorang akhwat yang tengah bersemangat dalam kerja-kerja dakwahnya. Seorang akhwat yang baru mengerti, inikah cinta?
Tak salah rasa itu hadir, karena itu fitrah dari Maha Cinta. Namun, Nada tahu pasti, di mana letak kesalahannya. Salah, di saat perhatian sudah saling ditebar. Salah, saat komunikasi telah terlewat batas wajar. Salah, saat pemantik semangat bergerak itu adalah karena dia. Salah, saat secara diam-diam, ada bekal yang diletakkan di sudut ruang sekre yang sengaja dibawa untuk dia. Semua itu salah…

            “Ukhti.. Kain batik ini ana simpan dulu ya.. selagi ini masih dengan ana, artinya, ana akan datang, ukhti..”
Pesan singkat ikhwan itu beberapa waktu lalu, semakin meremukkan hati Nada. Tadinya, pesan itu selalu menjadi kekuatan bagi Nada untuk menunggu ‘hari itu’. Hari yang dijanjikan dia untuk menyatukan rasa yang tak biasa di hati mereka. Tapi semua kini ibarat sembilu yang memberi luka.

***
            “Ada sesuatu yang ana letakkan di sekre, ditempat biasa.. silahkan di ambil. Tapi dilihat nanti jika sudah di rumah saja..” sebuah pesan singkat di terima Nada dari sebuah nomor handphone yang tak tersave di Handphone Nada, namun sangat tersimpan di ingatannya.

***
            Segera setelah tiba di rumah, Nada bergegas menuju kamarnya. Dilihatnya sebuah tas kertas berukuran sedang yang ada di genggamnya. Nada membuka dengan semangat. Dengan gugup dan harap-harap cemas Nada langsung mengeluarkan sesuatu dari tas kertas tersebut.

***
“Kenapa?” Nada bertanya dengan seseorang di ujung telepon. Yang ditanya hanya diam.
“Kenapa, Akhi? Ada orang lain kah yang mengusik hatimu?” suara Nada meninggi, lirih. Yang ditanya tetap diam.
“Jawablah.. Ana butuh sebuah jawaban..”
“Semuanya sudah terasa datar, ukhti…”
“Datar bagaimana? Bagaimana bisa?”
“Ana tidak tahu.. Perasaan ana kini sudah datar..”
“Setelah selama ini? Semudah itu kah?”
“Ana tidak tahu ukhti..”
“Sebelum kita berangkat KUKERTA, kita sepakat menjaga komunikasi kita sampai menjelang hari itu tiba. Kita berjanji menjaga hati masing-masing sampai nanti akh datang meminang ana. Tapi kenapa akhirnya begini?”
“Akhi.. Ana sedang menyelesaikan tugas akhir ana. Bersabarlah.. Bagaimana dengan tugas akhir akh sendiri? Sudah sejauh apa? Masa wisuda selanjutnya tinggal 5 bulan lagi.. Bagaimana dengan rencana kita ke depannya?” sambung Raya..
“Entahlah ukhti.. Ana tidak tahu.. Ana tidak lagi memikirkan hal itu.. Jika terjadi, terjadilah.. Jika tidak.. Tidaklah..”
“Tapi kenapa? Ada apa? Alasannya apa? Apa telah engkau temukan seseorang yang lebih menyamankan hatimu selama kita tak berkomunikasi, Akhi? Iyakah? “
“Ukhti, semua telah terasa datar.. “
“Tapi bagaimana bisa? Saat di sini ana menjaga hati ana tetap mengarah padamu? Tapi dengan mudahnya engkau mengatakan semua telah terasa datar. Bukankah dulu akh yang mengatakan, meskipun hati itu dapat berubah, namun ia bisa diistiqamahkan. Engkau bilang akan mengistiqamahkan hatimu untuk ana, ya Akhi..”
“Iya, tapi sulit, ukh.. “
“Sulit? Apa yang menjadikannya sulit? “
“Entahlah, hanya saja.. Semua telah terasa datar..”

***
            Nada membaca-baca ulang isi diarynya. Setiap lembar menjadi saksi keindahan cerita itu pada awalnya. Rona wajah Nada selalu berubah memerah, kala membaca tulisannya sendiri tentang romantikanya dengan sang pujaan. Setiap untaian janji yang diberikan sang pujaan, ditulis rapi oleh jemari lentik Nada. Tak ada satupun yang terlewat. Hingga pun malam ini, persis di lembar terakhir diary yang tersisa.

            Diary.. maaf ya.. Di awal aku menyuguhkan keindahan padamu.. Keindahan atas cinta yang semu ini.. Cerita yang tersembunyi rapat dari netra orang-orang di sekelilingku.. Hanya aku, dia, dan Rabb-ku yang tahu.. Cerita yang telah terukir sekian lama.. Cerita yang slalu aku ceritakan padamu.. Cerita yang berawal indah, dan ku harap tak akan berakhir keindahannya.. Tapi kini..
            Diary.. Harusnya aku tak bermain-main dengan kesalahan ini.. Aku yang punya ilmunya tentang hakikat hubungan antara lawan jenis, justru melanggar batas-batasnya.. Aku yang tahu ilmunya, namun tak kunjung mempraktekkannya..
            Diary.. Aku jatuh cinta.. Dan aku benar-benar terjatuh karenanya.. Kini, apa yang harus aku lakukan setelah semua yang terlewatkan? Aku sadar selama ini telah melampaui batas-Nya.. Mendahului takdirnya.. mendikte-Nya dengan hanya meminta dia.. Tak mampu ku jabarkan lagi sesakku..
            Semoga Allah memaafkanku..
            Semoga ini tanda dari Allah untuk menegurku, menyadarkanku..
            Bahwa selama ini aku terlalu lama bermain dalam kesalahan..
            Semoga ini tanda Allah ingin aku kembali taat.. Tak menduakan cinta-Nya..
            Semoga Allah menerimaku kembali..

                        “Ya Allah, jauhkanlah.. Sejauh yang aku butuhkan untuk membuat wajahnya terlihat biasa saja bagi mataku, agar namanya terdengar biasa saja bagi telingaku.. Jauhkanlah.. Sejauh yang aku butuhkan untuk membiasakan rasa yang akarnya telah tertancap dalam, menggenggam erat tanah hatiku..

***

Telah lama aku bertahan
Demi cinta wujudkan sebuah harapan
Namun ku rasa cukup ku menunggu
Semua rasa telah hilang
Sekarang aku tersadar
Cinta yang ku tunggu tak kunjung datang
Apalah arti aku menunggu
Bila kamu tak cinta lagi         
Lantunan sebuah lagu pop Indonesia kembali memenuhi ruang kamar Nada. Di tengah kesibukannya mengumpulkan semua barang yang berkaitan dengan dia yang direncanakan Nada untuk dibakar, tiba-tiba handphone Nada berdering tanda ada pesan masuk. Dari Sari. Sahabat Nada.
“Assalamu’alaikum, Ukhti.. Hari minggu siang tidak ada agenda kan? Kita pergi bareng yuk dengan adik-adik UKMI lainnya, ke walimatul ursynya Akh Rio. Wah.. ntu ikhwan udah duluan aja.. Giliran kita kapan ya? Ayok, ukhti .. selesaikan segera Skripsi anti.. semangat selesaiin skripsinya kan katanya ingin menuju 2014.. :D ”
Gigil tetiba menggerayang badan Nada. Sendinya lemas hingga tak mampu menopang badannya yang telah kering. Nada terjatuh. Dadanya semakin sakit. Malam itu, tepat sebulan sejak sang pujaan mengembalikan kain panjang milik Nada, yang ditanda sebagai pengikat antara mereka. Sang pujaan itu, Rio.

Apalah arti aku menunggu
Bila kamu tak cinta lagi 
        


***

“Cinta yang suci tak layaknya di semai di ladang yang tak halal..” (Nada Thahirah)


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/11/16/42257/diary-nada/#ixzz2lL9kwvDb


 

No comments: