Pages

Sunday 30 October 2011

Galau

Akang Sayang, sungguh aku merindukanmu. Aku memang merelakan perpisahan kita. Aku bahkan mencoba melupakanmu. Tapi ternyata aku tidak bisa. Aku tidak mau melupakanmu. Aku selalu mengatakan bahwa kau adalah yang terindah, dan kau memang terlalu indah. Aku hanya akan mengingat kebaikanmu. Dan aku hanya akan mengingat bahwa kau pernah menghadirkan bahagia dalam hidupku. Mohon, jangan pergi dari hidupku. Jika kau tidak bisa memberikan sedikit tempat di ruang hatimu untukku, setidaknya berpura-puralah bahwa kau masih mencintaiku. Jangan membiarkanku tanpa kata tanpa sapa.




Friday 28 October 2011

Kenapa Pusing dengan Kelemahan Orang Lain?



Biasanya orang pusing karena kelebihan orang lain. Mereka punya mobil baru, kita kesal. Mereka yang naik pangkat, kita yang sebal. Kelebihan apapun yang dimiliki orang lain, bisa membuat kita pusing tujuh keliling. Tapi, ada juga lho orang yang justru pusing karena orang lain mempunyai kelemahan. Emang ada? Oooh, banyak banget orang yang justru pusing gara-gara kelemahan orang lain. Emang Anda tidak pusing? Misalnya, ni ye; atasan kita pemarah, lha kok kita yang pusing? Teman kantor suka membolos, kita yang kesal. Pesaing terdekat kita senang menjilat atasan, malah kita yang jadi panas hati. Ternyata, lebih banyak orang yang pusing karena kelemahan orang lain daripada gara-gara kelebihan mereka. So, what? Hmmh, implikasinya banyak sekali lho...

Dikisahkan ada seorang guru kebijaksanaan yang memiliki 2 murid. Diakhir pelajaran, beliau menugaskan kedua muridnya untuk mengembara, sambil saling mengawasi satu sama lain. Sang guru ingin mengetahui siapa murid yang paling sedikit berbuat kesalahan. Di akhir pengembaraan, sang guru memanggil sang murid dan memberinya kesempatan untuk membeberkan kesalahan temannya. Murid pertama, menceritakan seluruh kesalahan temannya. Jumlahnya banyak sekali. Lalu tiba giliran murid kedua. Dihadapan gurunya dia berkata; ”Guru, teman saya ini melakukan kesalahan yang sama banyaknya dengan saya. Namun, mengingat begitu banyaknya kesalahan yang sudah saya lakukan; saya tidak punya lagi waktu untuk menceritakan kesalahan teman saya. Sekarang saya mohon diri untuk melakukan perbaikan.” Lalu sang murid pamit. Kepada murid pertama, sang guru memberi hadiah berupa segenggam emas sesuai yang dijanjikannya. Kepada murid kedua, sang guru memberikan seluruh hidupnya untuk menemaninya melakukan perbaikan. Perbaikan diri, hanya mendatangi orang-orang yang menyadari kelemahan dirinya sendiri, bukan mereka yang memusingkan diri dengan kesalahan dan kelemahan orang lain. Bagi Anda yang tertarik menemani saya membebaskan diri dari rasa pusing karena kelemahan orang lain, saya ajak memulainya dengan mempraktekkan 5 prinsip Natural Intelligence berikut ini:


1. Perbaiki diri sendiri terlebih dahulu. Anda masih ingat petunjuk keselamatan di pesawat terbang? Jika tekanan udara turun, segera gunakan masker oksigen. Jika ingin membantu orang lain, Anda sendirilah yang harus terlebih dahulu menggunakan masker oksigen itu. Sama dengan kelemahan-kelemahan yang kita saksikan. Tidak ada manusia yang tidak memiliki kelemahan. Semua kita begitu. Maka sebelum mengurusi kelemahan orang lain, sebaiknya kita terlebih dahulu membenahi kelemahan diri kita sendiri. Jika Anda mendahulukan masker oksigen orang lain, maka Anda sendiri yang mati, dan orang lain belum tentu tertolong. Jika Anda lebih mengurusi kekurangan orang lain, maka boleh jadi; Anda akan selamanya buruk. Padahal belum tentu orang lain itu berhasil Anda ajak untuk menjadi lebih baik. Orang yang diberi masker oksigen tidak akan berdebat; “Lha, kok Anda nyuruh saya pake masker? Anda sendiri tidak pake masker?” Dia akan langsung terima masker yang Anda sodorkan. Tapi, jika Anda mengajak orang lain untuk melakukan perbaikan sementara Anda sendiri masih kacau, maka dia akan berkata;”Ngacalah, kau!” Beda jika Anda sudah menunjukkan kesediaan untuk melakukan perbaikan. Anda bisa mengatakan; “my personal improvement is in progress. So, let’s do it together…

2. Ambil peluang yang disembunyikannya. Seperti keping mata uang, semua hal memiliki dua sisi yang saling berseberangan. Atasan atau rekan kerja Anda di kantor, mungkin mengecewakan Anda. Terserah Anda, mau memandangnya dari sisi yang mana. Anda boleh melihatnya sebagai ancaman; ”kalau begini terus, karir gua bisa terancam.” Atau dari sisi sebaliknya; ”nah, inilah peluang buat gue untuk menunjukkan siapa yang pantas mendapatkannya.” Saya mengajak Anda untuk melihatnya dengan cara kedua. Kalau Anda punya atasan yang ’kurang oke’ – misalnya – sebaiknya itu memacu Anda untuk menjadi pribadi yang oke, dong. Bukannya menggerutu dan mengomel terus. Toh akan ada saatnya ketika atasan Anda akan turun tahta. Bahkan, boleh jadi saat tidak terduga itu sudah dekat. Mana tahu? Daripada mengeluh terus, kan mending memastikan bahwa Anda sudah siap untuk saat penting itu. Jangan sampai kalau sudah jadi pejabat, ternyata Anda juga sama tidak oke-nya. Kolega Anda yang tidak oke? Nape elo yang sewot? Malah bagus untuk menunjukkan bahwa Anda adalah orang yang lebih baik. Apapun yang Anda alami, selalu menyimpan peluang dan ancaman. Jika Anda ingin segalanya menjadi indah, ambil peluangnya.

3. Antisipasi dampak negatifnya. Teman Anda, mungkin memang sedang merencanakan sesuatu untuk menjegal. Atasan Anda mungkin memang tidak adil. Baru mungkin, karena tidak ada bukti yang menyokong argumentasinya. Baru mungkin. Karena boleh jadi itu hanyalah perasaan Anda saja. Tetapi, bagaimana jika itu benar? Sekecil apapun kemungkinan itu, jika Anda sudah melihat gelagatnya maka patut untuk mengantisipasi dampak negatifnya. Dampak paling besarnya adalah efek kepada perasaan dan emosi Anda. Jika perilaku mereka berhasil membuat emosi Anda tidak stabil, mengomel, menggerutu, lalu bereaksi negatif; maka Anda kalah. Makanya, penting untuk menjaga agar jangan sampai emosi atau mental Anda terimbas dampaknya. Setelah itu, barulah Anda pikirkan dampaknya pada karir Anda. Baik keberlangsungannya, maupun perkembangannya. Anda bahkan bisa memetakan seberapa besar dampaknya yang mungkin terjadi. Dan sebelum itu terjadi, Anda sudah bisa melakukan antisipasi. Kebanyakan orang sibuk mengurusi perilaku negatif orang lain dengan melawan atau menentangnya. Padahal, itu hanya buang-buang waktu saja. Percuma. Mending Anda gunakan energi menggerutu itu untuk mengantisipasi dampak negatifnya bagi diri dan karir Anda. Sehingga jika hal itu terjadi, Anda tidak kaget lagi. Toh sudah bisa Anda perkirakan. Dan Anda, sudah punya exit stretegynya secara handal. Jika Anda mampu begitu, maka tak seorangpun bisa ’ngerjain’ Anda.

4. Tingkatkan kualitas hubungan dengan jaringan. Banyak orang yang mengabaikan pentingnya membangun jaringan dengan orang-orang dalam perusahaan. Ada yang karena sungkan. Malas. Atau merasa tidak ada perlunya. Sejak menjadi seorang salesman pada tingkatan paling rendah, saya sudah bisa punya akses kepada Presiden Direktur. Beliau bukan saudara saya. Bukan pula kenalan orang tua saya. Tapi saya menjadi satu-satunya karyawan dari level paling rendah yang bisa berkomunikasi dengan baliau. Mungkin itu agak ekstrim. Anda bisa membangun hubungan yang baik itu dengan rekan-rekan atau manager dari departemen lain. Pastikan dalam membangun hubungan itu Anda menunjukkan aspek-aspek positif dan unggul yang Anda miliki. Bukan untuk mengelabui, tapi untuk membiasakan diri tampil dengan performa yang tinggi. Jika Anda mempunyai hubungan yang bagus dalam jaringan di perusahaan Anda, maka sangat sulit untuk menjatuhkan Anda. Anggap saja atasan dan kolega Anda rada kurang fair pada Anda. Tapi hubungan bagus Anda di berbagai departemen lain, bisa menjadi benteng pelindung Anda. Bagaimana jika atasan dan kolega Anda justru orang-orang yang baik? Itu jauh lebih bagus lagi, kan? So, apapun kondisinya; cobalah untuk meningkatkan kualitas hubungan dengan jaringan di departemen lain di perusahaan Anda.

5. Terus berbaik sangkalah pada mereka. Penilaian Anda terhadap atasan atau teman bisa saja salah. Kalaupun mereka melakukannya, belum tentu disertai niat untuk menjatuhkan Anda. Jika atasan Anda bawel, misalnya. Atau menimpakan pekerjaan yang sulit hanya pada Anda. Boleh jadi itu bukan karena dia tidak sayang pada Anda. Mungkin memang begitu caranya untuk menggembleng Anda. Berburuk sangka para atasan yang seperti itu? Rugi, Anda. Teman yang Anda nilai tukang serobot itu. Belum tentu dia melakukannya untuk menyingkirkan Anda. Ini zaman persaingan ketat, bung. Segalanya mesti serba cepat. Serba lugas. Dan serba kompetitif. Menjadi orang yang gampang tersinggung di zaman ini rada tidak cocok. Orang ambisius sering terlihat arogan. Padahal bukan arogan. Orang-orang yang disiplin sering dikira galak. Orang-orang tegas sering dituduh tidak toleran. Berbaik sangkalah kepada mereka agar hati Anda lebih tenteram saat menghadapinya. Ada baiknya untuk mewaspadai kemungkinan perlakuan buruk orang lain pada kita. Tetapi, waspada tidak sama artinya dengan curiga. Tetaplah waspada, dan tetaplah berprasangka baik. Karena dengan bagitu, Anda bisa tetap terjaga dari ancaman yang datang dari luar. Juga terjaga dari noda mental yang datang dari diri Anda sendiri. Dengan begitu, Anda tidak akan terpengaruh oleh sifat buruk yang menjadi kelemahan orang lain.
Kita mungkin sudah lama terbebas dari rasa iri atas kelebihan orang lain. Kita tidak merasa kesal lagi jika tetangga memberi hand phone baru, tv baru, atau mobil baru. Kita sudah cukup dewasa untuk menyikapi hal itu. Tetapi, kita sering tidak sadar telah terpengaruh oleh kelemahan dan kekurangan orang lain. Padahal, ketika menemukan kelemahan orang lain melalui perilaku buruknya kepada kita; sebenarnya Tuhan sedang memberi kita kesempatan untuk menjadi pribadi yang jauh lebih baik daripada mereka. So, mulai sekarang. Setiap kali melihat kelemahan orang lain, langsung setting mental Anda untuk mengambil hikmah darinya. Agar semakin hari, diri kita menjadi semakin baik. Sehingga suatu saat nanti, kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik.

[Dadang Kadarusman - Penulis buku "Natural Intelligence Leadership"]

Tuesday 25 October 2011

Keberanian Menghadapi Kesulitan Hidup


Pada suatu kala, hiduplah seorang pemuda yang menjalani hari-harinya dengan penuh kebosanan. Ia telah kehilangan semangat hidup karena berbagai masalah dan persoalan buruk yang terus menghantuinya. Bisnis yang telah dirintis dengan susah payah akhirnya bangkrut, yang mengakibatkan anak dan istri tercintanya berada dalam keadaan yang terancam. Ia cemas memikirkan bagaimana menghidupi keluarganya ke depan.

Keadaan yang penuh kesulitan itu membuatnya tidak kuat menahan beban hidup yang berat bagaikan menahan sebuah gunung. Semuanya terasa tidak adil. Ia pun merasa tidak berguna bagi orang lain karena berpikir ia bukan siapa-siapa lagi. Ia menganggap dirinya sekarang seperti sampah yang siap dibuang, tidak berguna, tidak dipedulikan. Ia merasa tidak berguna sebagai seorang suami, tidak mampu memberikan yang terbaik bagi keluarganya.

Begitulah seterusnya, pemuda itu terus mengeluhkan keadaannya dan terus mengatakan kepada diri sendiri bahwa ia adalah orang yang tidak berguna.

Sampai pada suatu hari, ia berjalan-jalan di kota dan melihat ada sebuah kebakaran hebat yang terjadi di sebuah rumah. Api tersebut merah membara seakan ingin menelan apapun yang berada di dekatnya. Api itu luar biasa besarnya seperti kobaran api raksasa yang menghanguskan rumah itu. Pemilik rumah itu, seorang wanita, menangis dengan keras sambil menunjuk ke arah rumah dan memanggil anaknya yang masih terjebak di dalam. Anaknya menangis memanggil ibunya dari lantai dua. Wanita itu bersikeras ingin menerobos ke dalam, tetapi
dihalangi tetangganya karena api yang besar tidak memungkinkan seseorang untuk masuk ke dalamnya.

Orang-orang sekitar hanya bisa melihat kobaran api yang menyala-nyala tanpa bisa berbuat apa-apa untuk menolong seorang anak yang berada di lantai dua, terperangkap tak bisa keluar.

Tiba-tiba muncul seorang anak yang cacat mental (idiot) dengan penuh keberanian menerobos memasuki rumah yang terbakar itu. Orang-orang berteriak untuk melarangnya, tapi ia terus masuk seolah-olah tidak mendengarkan mereka. Tidak lama kemudian, pemuda cacat mental ini berhasil keluar dari kobaran api dengan selamat sambil menggendong seorang anak yang tadi terperangkap dalam kebakaran.

Melihat keberaniannya, semua orang bertepuk tangan untuknya. Mereka salut karena ketika tidak ada seorang pun yang berani menyelamatkan orang, ia malah berani melakukannya bagaikan memiliki banyak nyawa. Sang ibu terus berterima kasih kepadanya karena telah menyelamatkan nyawa anaknya. Pemuda cacat mental itu tetap tak berekspresi bagaikan tidak terjadi apa-apa.

Melihat kejadian itu, pemuda itu tertegun melihat tindakan luar biasa yang dilakukan pemuda cacat mental itu. Air mata haru mengalir karena selama ini ia selalu menganggap dirinya tidak berguna. Saat itulah ia melihat dengan mata kepala sendiri seorang pemuda yang mengalami keterbelakangan mental menjadi seorang pahlawan sejati ketika menyelamatkan seorang anak kecil dari kebakaran, padahal orang lain tidak berani melakukannya. Seorang cacat mental yang dianggap tidak berguna bisa memiliki keberanian yang luar biasa dan bahkan jauh lebih berguna dari orang lain yang hanya melihat saja.

Pesan kepada pembaca:
Mungkin Anda kadang-kadang suka merendahkan diri sendiri dengan sesuatu hal yang membuat Anda menjadi tak berdaya. Anda mungkin menganggap diri sendiri tidak berguna dan tidak cukup pantas untuk menjadi orang yang luar biasa. Anda mungkin juga menganggap orang lain jauh lebih baik dan lebih hebat dari Anda. Anggapan inilah yang sering kali menjatuhkan kita sebagai seorang manusia yang memiliki
kemampuan luar biasa.

Sikap rendah diri inilah yang mengikat diri sendiri dan menahan seluruh potensi yang ada dalam diri Anda. Sikap ini juga bagaikan penjara bawah tanah yang membuat Anda tidak bisa pergi bebas ke mana pun yang Anda inginkan.

Sadarilah bahwa Anda adalah manusia yang unik dan dibekali dengan kemampuan yang luar biasa untuk menjadi, melakukan dan memperoleh apa pun yang Anda impikan. Anda hanya perlu mendukung diri Anda dan menyadari bahwa Anda adalah orang yang dilahirkan di dunia ini untuk menjadi luar biasa, bukan orang yang biasa-biasa saja. Anda layak untuk menjadi orang yang berguna, menjadi seorang juara dan pahlawan sejati dalam hidup Anda.

From: SUHARDI (Penulis buku "PATTERNS OF SUCCESS")

Perpisahan

Setiap orang pasti memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatan yang aku miliki adalah ketulusan cinta yang aku persembahkan seutuhnya untukmu. Sedangkan kelemahanku adalah aku terlalu takut. Takut jika kau pergi menjauh. Takut kehilangan cintamu.

Ku fikir aku tak akan pernah kehilanganmu, selain karena maut yang memisahkan. Mengapa? Karena pernah berulang kali ku coba untuk melepaskanmu (walau jujur hati ini tak kan pernah mampu) demi seseorang yang selalu menunggumu di sana, tetapi kau selalu berhasil meyakinkanku bahwa aku yang terbaik untukmu, bahwa aku yang sebenarnya engkau cintai, bahwa masalahnya hanyalah waktu yang terlambat mempertemukan kita, dan kelak waktulah yang akan menjawabnya. Dan aku selalu menunggu waktu itu datang.

Perlahan kita mulai membangun asa, membangun cinta, membangun mimpi. Kau selalu menemaniku sejak aku membuka mata hingga aku terlelap. Berbagi cerita, berbagi bahagia, bersama. Kau selalu ada untukku. 

Namun, waktu yang ku nanti tak kunjung datang, kemanakah dia tersesat? Dan kini jenuh mulai menderamu tak tertahankan hingga kau menghilang tanpa kabar. Lalu angin membawamu kembali dan berbisik lirih, "maaf, seharusnya tidak pernah ada cerita antara kita". Cerita? Sekedar itukah?

Padahal kata halusmu yang disampaikan melalui angin berhasil meluluhlantakkan seluruh bangunan asa, bangunan cinta, dan bangunan mimpi yang ku fikir sudah berdiri dengan kokohnya. 

Aku tetaplah aku yang lemah, betapapun besarnya cintaku untukmu. Tak ada serapah yang bisa terucap, hanya air mata yang mengalir deras, dan sebentuk doa, "semoga perpisahan ini adalah pilihan terbaik"

Dan aku baru menyadari bahwa perpisahan ternyata teramat menyakitkan.

Selamat tinggal kekasih jiwa, semoga kau bahagia bersama pilihan hatimu. 

Tuhan jika kau berkenan, tolonglah aku, hapuskan rasa cintaku untuknya. Karena aku tak kuasa menghapus rasa.


Monday 24 October 2011

Kecewa


Kesepian


Kecantikan Wanita

Untuk membentuk bibir yang menawan, ucapkanlah kata-kata kebaikan. Untuk mendapatkan mata yang indah, carilah kebaikan pada setiap orang yang anda jumpai. Untuk mendapatkan bentuk badan yang langsing, bagikanlah makanan kepada mereka yang kelaparan. Untuk mendapatkan rambut yang indah, mintalah seorang anak kecil untuk menyisirnya dengan jemarinya setiap hari. Untuk mendapatkan sikap tubuh yang indah, berjalanlah dengan segala ilmu pengetahuan, dan kamu tidak akan pernah berjalan sendirian.


Kecantikan wanita bukan terletak pada pakaian yang dikenakan, bukan pada bentuk tubuh, atau cara dia menyisir rambutnya. Kecantikan wanita terdapat pada mata, caranya memandang dunia. Karena di matanya terletak gerbang menuju ke setiap hati manusia, di mana cinta dapat berkembang.


Kecantikan wanita bukan pada kehalusan wajah. Tetapi pada kecantikan yang murni, terpancar pada jiwanya, yang dengan penuh kasih memberikan perhatian dan cinta yang dia berikan. Dan kecantikan itu akan tumbuh sepanjang waktu.

Be Mine!








Temukan Cintamu



Bila kamu tak mencintai pekerjaanmu, maka cintailah orang –orang yang bekerja di sana. Rasakan kegembiraan dari pertemanan itu. Dan, pekerjaan pun jadi menggembirakan. Bila kamu tak bisa mencintai rekan-rekan kerjamu, maka cintailah suasana dan gedung kantormu. Ini akan mendorongmu bergairah berangkat kerja dan melakukan tugas-tugas dengan lebih baik lagi. Bila toh kamu juga tidak bisa melakukannya, cintai setiap pengalaman pulang pergi dari dan ke tempat kerjamu.
Perjalanan yang menyenangkan menjadikan tujuan tampak menyenangkan juga. Namun, jka kamu tidak menemukan kesenangan di sana, maka cintai apa pun yg bisa kamu cintai dari kerjamu, tanaman penghias meja, cicak di atas langit-langit, atau gumpalan awan dari balik jendela. Apa saja. Bila kamu tak menemukan yang bisa kamu cintai dari pekerjaanmu, maka mengapa kamu tetap di situ? Tidak ada alasan bagimu untuk tetap bertahan. Pergi cepat dan carilah yang kamu cintai, lalu bekerjalah di sana. Hidup hanya sekali. Tak ada yang lebih indah selain bekerja dengan rasa cinta yang tulus.

Dahlan Iskan: Dua Tangis dan Ribuan Tawa





Minggu lalu genap enam bulan saya menjadi CEO PLN. Ada yang bilang "baru" enam bulan. Ada yang bilang "sudah" enam bulan.

Betapa relatifnya waktu.

Selama enam bulan itu, saya dua kali sakit perut serius. Setengah hari saya tidak bisa bekerja, kecuali hanya tidur lemas di bilik di belakang ruang kerja Dirut PLN. Sebenarnya, saya harus mewaspadai sakit perut seperti itu melebihi sakit lainnya. Sebab, kata dokter, sakit perut merupakan tanda awal mulai bermasalahnya transplantasi hati yang saya lakukan tiga tahun lalu. Mungkin saja itu merupakan tanda awal bahwa "hati"nya orang lain yang sekarang saya pakai ini mulai ditolak oleh sistem tubuh saya. Begitulah kata dokter.

Syukurlah, sakit perut itu cepat hilang tanpa saya harus minum obat. Saya memang tidak boleh sembarangan minum obat, khawatir berbenturan dengan obat transplan yang masih harus saya minum setiap hari.

Tiba-tiba saja, ketika hari sudah berubah siang, ketika rapat penting yang telanjur dijadwalkan tersebut harus dimulai, sakit itu sembuh sendiri.

Selama enam bulan itu, seingat saya, belum pernah saya absen. Saya memang sudah berjanji kepada diri sendiri: Selama enam bulan pertama sebagai Dirut PLN, saya tidak akan mengurus apa pun kecuali listrik.

Tidak akan pergi ke mana pun kecuali urusan listrik. Tidak akan bicara apa pun kecuali soal listrik. Karena itu, kalau biasanya dulu setiap bulan saya bisa dua-tiga kali ke luar negeri, selama enam bulan di PLN ini, saya tidak ke mana-mana.

Untuk itu, saya harus minta maaf kepada famili, teman dekat, dan pengurus berbagai organisasi yang saya ketuai. Selama enam bulan tersebut, saya tidak bisa menghadiri acara keluarga, pesta perkawinan teman-teman dekat, dan bahkan selamatan boyongan rumah anak sendiri. Apalagi rapat-rapat organisasi atau permintaan ceramah. Semua saya hindari.

Saya memang masih tercatat sebagai ketua umum persatuan perusahaan surat kabar se-Indonesia, ketua umum persatuan barongsai Indonesia, persatuan olahraga bridge Indonesia, dan banyak lagi. Selama enam bulan itu, tidak ada rapat yang bisa saya hadiri.

Menjelang enam bulan di PLN, berat badan saya naik 3 kg! Oh, rupanya saya kurang gerak. Hanya dari mobil ke ruang rapat. Dan dari ruang rapat ke mobil. Siang dan malam. Itu tentu tidak baik.

Dokter yang tiga tahun lalu mentransplantasi hati saya melarang badan saya terlalu gemuk. Dokter selalu mengingatkan, meski kelihatannya sehat, status saya tetap saja sebagai orang sakit. Di samping harus terus minum obat, juga harus tetap hati-hati. Karena itu, menginjak bulan keenam, saya putuskan ini: berangkat kerja berjalan kaki saja.

Maka, setiap hari pukul 05.45 saya sudah berangkat kerja. Jalan kaki dari rumah saya di dekat Pacific Place Semanggi, Jakarta, ke Kantor Pusat PLN di Jalan Trunojoyo, seberang Mabes Polri itu. Berangkat sepagi itu bukan supaya dianggap sok rajin, tapi ingin menghindari asap knalpot. Tidak ada gunanya berolahraga sambil menghirup CO2.

Beruntung, rute menuju kantor tersebut bisa ditempuh dengan menghantas jalan-jalan kecil yang sepi yang kiri-kanannya penuh pohon-pohon nan merimbun. Pukul 06.30, ketika baru ada satu-dua mikrolet mengasapi jalanan, saya (biasanya ditemani istri) tiba di kantor dengan keringat yang bercucuran.

Hasilnya: selama satu bulan itu, berat badan sudah turun 2 kg. Masih punya utang 1 kg lagi. Mula-mula, berjalan cepat selama 35 menit itu terasa berat. Jarak rumah-kantor tersebut juga terasa sangat jauh. Tapi, kian lama menjadi kian biasa. Bahkan, belakangan jarak itu terasa sedikit kurang jauh.

Betapa relatifnya jarak.

Enak juga sudah di kantor pagi-pagi. Kini, menjadi pemandangan biasa pada pukul 07.00 sudah banyak orang Jepang yang antre di ruang tamu. Demikian juga beberapa relasi PLN lainnya.

Bahkan, seorang perempuan yang merasa diperlakukan kejam oleh suaminya juga tahu jadwal saya ini: Sebelum pukul 07.00, perempuan itu sudah menangis di lobi untuk mengadukan kelakuan suaminya. Lalu, minta sangu untuk pulang karena uangnya tinggal pas-pasan untuk datang ke PLN itu tanpa tahu harus bagaimana pulangnya. Suaminya, katanya, sangat-amat pelitnya.

Betapa relatifnya uang.

Selama enam bulan itu, saya dua kali menangis. Sekali di ruang rapat dan sekali di Komisi VII DPR RI. Kadang memang begitu sulit mencari jalan cepat untuk mengatasi persoalan. Kadang sebuah batu terlalu sulit untuk dipecahkan.

Tapi, tidak berarti hari-hari saya di PLN adalah hari-hari yang sedih. Ribuan kali saya bisa tertawa lepas. Ruang rapat sering menjadi tempat hiburan yang menyenangkan. Terutama ketika begitu banyak ide datang dari para peserta rapat. Apalagi, sering juga ide tersebut dikemukakan dengan jenakanya.

Di mana-mana, di berbagai forum, saya selalu membanggakan kualitas personal PLN. Orang PLN itu rata-rata cerdas-cerdas: tahu semua persoalan yang dihadapi perusahaan dan bahkan tahu juga bagaimana cara menyelesaikannya. Yang tidak ada pada mereka adalah muara.

Begitu banyak Ide yang mengalir, tapi sedikit yang bisa mencapai muara. Kalau toh ada, muara itu dangkal dan sempit. Ide-ide brilian macet dan kandas. Kini, di ruang rapat tersebut, semua ide bisa mulai bermuara. Bahkan, meminjam lagunya almarhum Gesang, bisa mengalir sampai jauh.

Memang, ruang rapat sebaiknya jangan penuh ketegangan. Orang-orang PLN itu siang-malam sudah mengurus tegangan listrik. Jangan pula harus tegang di ruang rapat. Ruang rapat harus jadi tempat apa saja: debat, baku ide, berbagi kue, dan saling ejek dengan jenaka. Saya bangga ruang rapat PLN bukan lagi sebuah tempat biasa, tapi bisa menjadi katalisator yang menyenangkan.

Sebuah tempat memang bisa jadi apa saja bergantung yang mengisinya.

Betapa relatifnya tempat.

Sedih, senang, ketawa, menangis, semua bergantung suasana kejiwaan. Pemilik jiwa sendirilah yang mampu menyetel suasana kejiwaan masing-masing. Mau dibuat sedih atau mau dibuat gembira. Mau menangis atau tertawa. Semua bisa.

Betapa relatifnya jiwa.

Rasanya, selama enam bulan di PLN, saya juga belum pernah duduk di "kursi" direktur utama. Saya sudah terbiasa bekerja tanpa meja. Puluhan tahun, sejak sebelum di PLN. Setengah liar. Sebab, sebelum di PLN, saya hampir tidak pernah membaca surat masuk.

Jadi, memang tidak diperlukan sebuah meja. Semua surat masuk langsung didistribusikan ke staf yang bertugas di bidangnya. Sebab, kalaupun surat itu ditujukan kepada saya, belum tentu saya bisa menyelesaikannya. Maka, untuk apa harus mampir ke meja saya kalau bisa langsung tertuju kepada yang lebih pas menjawabnya?

Kini, sebagai Dirut PLN, saya tidak boleh begitu. Saya harus menerima surat-surat yang setumpuk itu untuk dibuatkan disposisinya. Inilah untuk kali pertama dalam hidup saya harus membuat corat-coret di lembar disposisi. Apa yang harus saya tulis di situ? Saran? Pendapat? Instruksi? Larangan? Harapan? Atau, beberapa kata yang hanya bersifat basa-basi - sekadar untuk menunjukkan bahwa saya atasan mereka?

Akhirnya, saya putuskan tidak menuliskan apa-apa. Kecuali beberapa hal yang sangat jarang saja. "Mengapa" saya harus memberikan arahan seolah-olah hanya saya yang "tahu" persoalan itu? Mengapa saya harus memberikan instruksi seolah-olah tanpa instruksi itu mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat? Mengapa saya harus memberikan petunjuk seolah-olah saya itu "pabrik petunjuk"?

Maka, jangan heran kalau mayoritas lembar disposisi tersebut tidak ada tulisannya. Paling hanya berisi paraf saya dan nama orang yang harus membaca surat itu. Saya sangat yakin, tanpa disposisi satu kata pun, mereka tahu apa yang terbaik yang harus dilakukan.

Bukankah karyawan PLN itu umumnya lulusan terbaik ranking 1 sampai 10 dari universitas- universitas terbaik negeri ini ? Bukankah karyawan PLN itu, doktornya saja sudah 20 orang dan masternya sudah 600 orang? Bukankah mereka sudah sangat berpengalaman - melebihi saya?
Maka, saya tidak ragu memberikan kebebasan yang lebih kepada mereka.

Inilah sebuah proses lahirnya kemerdekaan ide. Orang yang terlalu sering diberi arahan akan jadi bebek. Orang yang terlalu sering diberi instruksi akan jadi besi. Orang yang terlalu sering diberi peringatan akan jadi ketakutan. Orang yang terlalu sering diberi "pidato" kelak hanya bisa "minta petunjuk".

Saya harus sadar bahwa mayoritas warga PLN adalah lulusan terbaik dari universitas- universitas terbaik. Mereka sudah memiliki semuanya: kecuali kemerdekaan ide itu. Kini saatnya barang yang mahal tersebut diberikan kepada mereka. Saya sangat memercayai, jika seseorang diberi kepercayaan, rasa tanggung jawabnya akan muncul. Kalau toh ada yang tidak seperti itu, hanyalah pengecualian. Semua itu saya lakukan di meja rapat. Bukan di meja kerja direktur utama. Karena itu, saya juga tidak pernah memanggil staf, misalnya, untuk menghadap duduk di kursi di depan direktur utama. Kalau saya lakukan itu, perasaan saya tidak enak. Mungkin hanya perasaan saja sebenarnya.

Saya tidak tahu dari mana lahirnya perasaan tidak enak tersebut. Mungkin karena dulu terlalu sering melihat Pak Harto di televisi dengan adegan seperti itu. Saya takut merasa menjadi terlalu berkuasa di kantor ini.

Kedudukan tentu tidak sama dengan tempat duduk. Yang merasa berkuasa pun belum tentu bisa menguasainya. Yang punya kedudukan belum tentu bisa duduk semestinya.

Betapa relatifnya sebuah kekuasaan.

Lalu, apa yang sudah kita capai selama enam bu lan ini? Ada yang bilang sudah sangat banyak: menanggulangi pemadaman bergilir di seluruh Indonesia, menyelesaikan IPP terkendala yang sudah begitu lama, mengatasi kacaunya tegangan listrik di berbagai wilayah (orang Aceh, CianjurSelatan, Tangerang, dan banyak lagi kini sudah bisa mengucapkan selamat tinggal tegangan 14! Sudah bertahun-tahun tegangan listrik di Aceh hanya 14, sehingga sering redup dan merusak barang-barang elektronik. Kini, di Aceh dan banyak wilayah itu, tegangan listriknya sudah normal, sudah bisa 20).

Tapi, banyak juga yang bilang, masih terlalu sedikit yang diperbuat. Bahkan, ada yang bilang, termasuk seorang anggota DPR di komisi VI, bahwa direksi PLN yang baru ternyata bisanya hanya menaikkan TDL. Tudingan tersebut tentu lucu karena bukankah yang bisa menaikkan TDL itu hanya pemerintah bersama DPR? Bukankah direksi PLN itu, sesuai UU, sama sekali tidak punya wewenang menaikkan atau menurunkan TDL?

Betapa relatifnya kepuasan.

(Sebulan sekali, CEO PLN menulis surat kepada seluruh karyawan PLN. Inilah cara Dahlan Iskan untuk memotivasi dan berkomunikasi langsung dengan seluruh karyawannya. Surat itu diberi nama CEO's Note. Tujuannya, seluruh karyawan PLN yang lebih dari 40.000 orang itu bisa langsung membaca jalan pikiran dan keinginan pimpinan puncak perusahaan. Setiap kali CEO's Note terbit, banyak tanggapan dari karyawan melalui forum e-mail perusahaan. Artikel ini adalahCEO's Note edisi ke-6 bulan Juli 2010).

Alangkah baiknya kalau semua pemimpin bisa seperti ini, low profile, jadi teladan bagi bawahan dan demokratis.

Wednesday 12 October 2011

Pemilik Hatiku


Lihat ku disini
Kau buat ku menangis
Ku ingin menyerah
Tapi tak menyerah
Mencoba lupakan
Tapi ku bertahan

Kau terindah kan selalu terindah
Aku bisa apa ‘tuk memilikimu
Kau terindah ‘kan selalu terindah
Harus bagaimana ku mengungkapkannya
Kau pemilik hatiku

Mungkin lewat mimpi
Ku bisa ‘tuk memberi
Ku ingin bahagia
Tapi tak bahagia
Ku ingin dicinta
Tapi tak dicinta
Kau pemilik hatiku
Kau pemilik hatiku
Kau pemilik hatiku

Mau Di Bawa Ke Mana Hubungan Kita?




Semuanya telah kuberi dengan kesungguhan hati
Untukmu..... hanya untukmu......
Tak perlu kau tanya lagi
Siapa pemilik hati ini
Kau tahu.... pasti dirimu

Tolong lihat aku
Dan jawab pertanyaanku

Mau dibawa kemana hubungan kita?
Jika kau terus menunda-nunda dan tak pernah nyatakan cinta
Mau dibawa kemana hubungan kita?
Ku tak akan terus jalani tanpa ada ikatan pasti antara kau dan aku




Saturday 8 October 2011

Aku Mencintaimu, Bintang

Saat itu, hujan gerimis menari-nari di balik kaca mobil yang kutumpangi. Mobil melaju perlahan ditengah suasana ibu kota yang mulai padat. Tak seperti biasanya, hujan menari dengan kasar, grasak-grusuk, dan sebentar terdiam sebentar menari. Biasanya hujan selalu menyejukkan hatiku, meresap ke relung jiwa, dan menghadirkan sebuah rasa dan fikiran yang begitu tenang, begitu syahdu. So comfortable, dan aku mencintai hujan. Tapi kali ini tidak. Apakah karena hujan masih enggan untuk menari? Tak adakah irama musik yang begitu menarik sehingga kau tak juga mau melantai di bumi? Seharusnya engkau menari dan meliuk-liukkan badanmu dengan indah. Karena bulan itu bulan September. Seharusnya kau melantai dengan bebas, melantai dengan riang, tak peduli irama musik yang hadir seperti apa. Karena aku tau, kau memiliki musik sendiri. kau bisa menghadirkan musikmu sendiri.

Ah... mungkin dia perlu waktu untuk menghadirkan good mood. Atau jangan-jangan, semua yang ku rasa, gejolak itu, grasak-grusuk itu bukan karena hujan. Melainkan karena sesuatu yang lain.

Hujan akan terus seperti dirinya yang apa adanya. Menari sebebas mungkin, sesuai musiknya. Menikmati tariannya sendiri, dan tak peduli apakah yang melihatnya menghardikmu, menikmati indahmu, atau bahkan ikut menari bersamamu.

Ya, perasaan tak enak itu ternyata muncul dari ruang hatiku. Ada rasa yang hilang dari dalam diriku. Entah apa....

Dalam lamunanku, aku teringat......

Sebuah rasa nyaman, rasa aman, dan selanjutnya menjelma menjadi rasa bahagia, selalu bisa kau hadirkan. Tentu saja kali ini bukan hujan, tetapi sesuatu yang jauh... jauh... jauh lebih indah. Sang Pencinta telah menjadikannya tumbuh dalam hatiku, sang perindu cinta. Aku ingin sekali menyebutnya bintang.

Bintangku selalu hadir menemaniku, di kala aku tidur, bintang menyelimuti. Dan di kala ku terjaga dari mimpi malamku, kau selalu setia menemaniku, menerangi relung hatiku.

Kau selalu menjadi bintang yang paling bersinar dibandingkan gugusan bintang lain di langit sana. Dan cahayamu juga tetap terang, meski matahari mengejarmu. Kau tak pernah hilang, kau selalu ada untuk menyinariku.

Kali ini... kemanakah engkau berada? Aku merindukanmu. Merindukan mimpi-mimpi yang selalu kita rajut bersama. Merindukan asa yang selalu kita tenun berdua.

Aku tau bintangku terlalu indah kalo sinarnya ku nikmati sendiri. dan bintangku juga tidak bisa menolak sinarnya yang telah diberikan Tuhan untuknya. Selalu bintang bicara, biarlah penduduk bumi menikmati sinarnya, karena sinar itu ada dan semakin berpijar jika aku meyakini bintang adalah milikku.

Maka sejak saat itu, bintang menjadi milikku. Ku bagi sinarnya dengan segala hiruk pikuk penduduk bumi, tapi hanya aku yang bisa memetikmu, dan selalu menempatkannya di ruang hatiku.

Akhirnya ku tersadar, ah ternyata aku merindukannya. Aku merindukan bintang. Dan perasaan tak menentu itu datang, karena aku semakin mendekatimu. Karena aku ingin memetikmu. tapi aku belum mempunyai cukup keyakinan, apakah aku mampu? Namun kau bintang, kau selalu berhasil membuang kebimbanganku, selalu berhasil menghadirkan senyuman terindah, tak hanya untukmu tetapi juga untuk dunia.
Aku ingin sepertimu, menerangi cakrawala.

Bintang aku mencintaimu....
Kau terindah.... dan selalu terindah, aku bisa apa tuk memilikimu?