Menduduki posisi atau jabatan tinggi itu memang
menyenangkan sekali ya. Sampai-sampai kita sering lupa untuk lengser. Kita juga
lupa, bahwa cepat atau lambat; kursi empuk itu mesti ditinggalkan juga. Entah
kita suka, atau tidak. Malahan ada juga orang-orang yang ngeyel untuk terus
berada pada kedudukan tinggi itu meskipun sebenarnya sudah tidak mampu lagi
menjalankannya. Makanya, beraaaat sekali jika harus meletakkan jabatan. Nanti
deh, nunggu saat yang tepat. Menurut pendapat Anda; “kapan sih saat paling
tepat untuk mundur dari jabatan tinggi?” Kalau sudah bosan? Kalau sudah masuk usia
pensiun 65 tahun? Kapan?
Awal bulan Mei ini dunia sepakbola digegerkan oleh
keputusan Alex Ferguson untuk mundur dari posisinya yang sedemikian bergengsi
sebagai pelatih sekaligus manager Manchaster United. Andai saja kita membuat
kuisioner dengan pertanyaan terbuka tentang pendapat orang-orang atas mundurnya
Fergie, kira-kira respon mereka apa ya? Jawabannya mungkin saja bisa
bermacam-macam. Namun, hampir bisa dipastikan jika publik akan merespon secara
positif dengan menunjukkan penghormatan yang tinggi kepada Fergie. Saya
meyakini jika tidak seorang pun pecinta sepakbola yang tidak menghormatinya.
Kawan sudah pasti. Lawan pun demikian. Benar, bahwa Fergie pernah melakukan
beberapa kesalahan. Namun, orang tetap saja respek kepada dirinya. Kenapa ya
kira-kira?
Ada seorang teman di dunia kerja. Jabatannya
tinggi. Sejauh yang saya ketahui, ada masa ketika menduduki jabatan yang tinggi
itu nyaris tidak berhenti orang menggunjingkan dirinya. Dan ketika teman kita
itu memutuskan untuk mundur, orang-orang pada bersorak kegirangan meski hanya
dilakukan didalam hati. “Nape nggak dari dulu-dulu….” Begitu kira-kira kalimat
bernada ejekan dialam olok-olok.
Ada juga teman yang memutuskan untuk mengundurkan
dirinya. Teman kita yang lainnya. Ketika berita mundurnya itu ‘bocor’,
orang-orang mulai sibuk bertanya;”Yaaaah, sayang baaanget….?” Ada juga yang
bilang “Ada apa sih…?” Mungkin tidak seperti tanggapan kepada Alex Ferguson.
Tapi pengunduran diri teman kita itu, disambut dengan rasa hormat dari
orang-orang disekitarnya.
Jika suatu saat kelak, Anda harus meletakkan
jabatan Anda; apakah Anda ingin seperti orang pertama atau kedua? Ingin seperti
orang pertama? Ya nggak mungkinlah ya… Anda pastinya ingin pergi diiringi rasa
hormat dari teman-teman Anda. Dari anak buah Anda. Dari atasan Anda. Dari
sebanyak mungkin orang dikantor Anda kan? Mengapa? Iya dong. Kita kan ingin
dihargai melebihi materi. Tapi, kenapa ya ada orang yang hari kepergiannya
dihargai. Dan ada juga orang yang hari terakhirnya itu diiringi dengan cibiran
dan lecehan. Nggak ada respek sama sekali. Anda tahu kenapa?
Sebenarnya kan klub sepakbola yang keren itu bukan
hanya MU. Klub lainnya juga banyak yang tidak kalah hebatnya. Artinya pelatih
atau manager klub yang hebat itu bukan cuma Fergie. Tapi, kepergian Fergie
mungkin menjadi sejarah tersendiri. Anda yang mengikuti perkembangan sampai
pertandingan terakhirnya – semacam tribute gitulah – tentu mafhum; betapa orang
sangat menghormatinya. Nah, sekarang saya ingin berandai-andai nih. Seandainya
saja Fergie mundur ketika MU sedang terpuruk; kira-kira dia akan mendapatkan
penghormatan yang sedemikian gegap gempitanya atau tidak ya? Coba renungkan
dulu jawaban Anda, sampai Anda temukan isyaratnya.
Anda sudah menemukan isyaratnya? Betul. Saat yang
tepat untuk mundur itu, ternyata bukan usia 65 tahun ketika masa pensiun tiba.
Bukan juga ketika perusahaan sedang melakukan pengurangan tenaga kerja. Bukan ketika
ada merger. Melainkan ketika kita sedang berada di puncak prestasi. Persis
seperti bocoran alasan mundurnya Fergie dari MU. Memang ada spekulasi merebak
tentang alasan kemundurannya berkaitan dengan masalah kesehatan, sudah lelah,
atau pun banyak tekanan yang diterimanya. Namun, putera Fergie memberikan
bocoran tentang alasan ayahnya mengundurkan diri.
“Pada dasarnya dia merasa pergi disaat yang tepat.”
Demikian Darren Ferguson mengatakan. “Dia meninggalkan klub ini dalam
posisi yang fantastis, sangat sehat, dan telah merekrut manajer yang sangat
bagus untuk menggantikan dirinya,” lanjutnya.
Menyimak penjelasan putera Fergie itu, saya jadi
kembali teringat dengan kedua teman kita itu. Teman kita yang pertama tadi itu
juga bukan pemimpin ecek-ecek loh. Beliau itu mempunyai track record yang
sangat cemerlang. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini ada sesuatu yang
mengganjal bagi dirinya terkait kebijakan perusahaan. Sehingga akhirnya kinerja
beliau merosot drastis. Moral anak buahnya berantakan. Dan akhirnya, tidak lagi
jelas antara ada dan tidak adanya kepemimpinan disana. Walhasil, ikatan
emosional dengan teamnya pun luntur. Semuanya jadi memburuk. Sedangkan teman
yang kedua itu, mundur justru ketika beliau sedang berada di puncak
prestasinya.
Kita sering keliru mengira bahwa cara melanggengkan
jabatan itu adalah dengan terus menerus menggenggamnya. Dari Fergie dan kedua
teman kita itu saya belajar memahami bahwa bukan begitu caranya. Bukan. Bukan
dengan menggenggam tanpa mau melepaskan jabatan itu. Melainkan, justru
melepaskannya disaat yang tepat. Yaitu, saat dimana team yang kita pimpin itu
berada pada puncak prestasinya yang paling tinggi. Oleh karenanya sahabatku,
mulai sekarang mari berusaha sungguh-sungguh untuk membawa team kita ke puncak
prestasi tertingginya. Setelah itu, relakanlah. Seperti Fergie yang mundur
ketika MU berada dipuncak kemasyhurannya. Seperti teman kita yang kedua itu
melepaskan team yang dipimpinnya dalam kecemerlangan pencapaiannya.
Lho, memangnya apa salahnya mundur tepat pada saat
masuk masa pensiun? Tidak ada salahnya kok. Karena boleh jadi, pada masa menjelang
pensiun itu justru prestasi kita ada di puncak tertingginginya. Dan jika sampai
masa pensiun adalah yang Anda inginkan, berarti tugas Anda adalah memastikan
bahwa sejak saat ini, semua pencapaian dan kualitas kepemimpinan Anda akan
teruuus dan teruuuuuus membaik sehingga ketika pensiun kelak, Anda berada di
puncaknya. Jika tidak berhasil melakukan itu, maka pencapaian cemerlang Anda
sekarang akan terkubur oleh keadaan paling akhir, ketika Anda harus
melepaskannya. Jadi, kapan saat yang tepat bagi Anda untuk mundur. Saya yakin jawaban
kita sama. Yaitu; Ketika pencapaian kita sedang berada di puncak tertingginya.
Bisa? Insya Allah.
Banyak orang yang sedemikian terikatnya dengan jabatan
yang disandangnya. Hingga mereka lupa, bahwa jabatan itu hanyalah titipan
semata. Bukan milik kita, karena kita mesti mengembalikannya. Dan mempertanggungjawabkannya
didunia. Dan diakhirat.
- Dadang Kadarusman -
Author, Trainer, and Professional Public Speaker
Author, Trainer, and Professional Public Speaker