Pages

Thursday 16 May 2013

Kapan Saat Yang Tepat Untuk Mundur?

 
 
Menduduki posisi atau jabatan tinggi itu memang menyenangkan sekali ya. Sampai-sampai kita sering lupa untuk lengser. Kita juga lupa, bahwa cepat atau lambat; kursi empuk itu mesti ditinggalkan juga. Entah kita suka, atau tidak. Malahan ada juga orang-orang yang ngeyel untuk terus berada pada kedudukan tinggi itu meskipun sebenarnya sudah tidak mampu lagi menjalankannya. Makanya, beraaaat sekali jika harus meletakkan jabatan. Nanti deh, nunggu saat yang tepat. Menurut pendapat Anda; “kapan sih saat paling tepat untuk mundur dari jabatan tinggi?” Kalau sudah bosan? Kalau sudah masuk usia pensiun 65 tahun? Kapan?
 
Awal bulan Mei ini dunia sepakbola digegerkan oleh keputusan Alex Ferguson untuk mundur dari posisinya yang sedemikian bergengsi sebagai pelatih sekaligus manager Manchaster United. Andai saja kita membuat kuisioner dengan pertanyaan terbuka tentang pendapat orang-orang atas mundurnya Fergie, kira-kira respon mereka apa ya? Jawabannya mungkin saja bisa bermacam-macam. Namun, hampir bisa dipastikan jika publik akan merespon secara positif dengan menunjukkan penghormatan yang tinggi kepada Fergie. Saya meyakini jika tidak seorang pun pecinta sepakbola yang tidak menghormatinya. Kawan sudah pasti. Lawan pun demikian. Benar, bahwa Fergie pernah melakukan beberapa kesalahan. Namun, orang tetap saja respek kepada dirinya. Kenapa ya kira-kira?
 
Ada seorang teman di dunia kerja. Jabatannya tinggi. Sejauh yang saya ketahui, ada masa ketika menduduki jabatan yang tinggi itu nyaris tidak berhenti orang menggunjingkan dirinya. Dan ketika teman kita itu memutuskan untuk mundur, orang-orang pada bersorak kegirangan meski hanya dilakukan didalam hati. “Nape nggak dari dulu-dulu….” Begitu kira-kira kalimat bernada ejekan dialam olok-olok.
 
Ada juga teman yang memutuskan untuk mengundurkan dirinya. Teman kita yang lainnya. Ketika berita mundurnya itu ‘bocor’, orang-orang mulai sibuk bertanya;”Yaaaah, sayang baaanget….?” Ada juga yang bilang “Ada apa sih…?” Mungkin tidak seperti tanggapan kepada Alex Ferguson. Tapi pengunduran diri teman kita itu, disambut dengan rasa hormat dari orang-orang disekitarnya.
 
Jika suatu saat kelak, Anda harus meletakkan jabatan Anda; apakah Anda ingin seperti orang pertama atau kedua? Ingin seperti orang pertama? Ya nggak mungkinlah ya… Anda pastinya ingin pergi diiringi rasa hormat dari teman-teman Anda. Dari anak buah Anda. Dari atasan Anda. Dari sebanyak mungkin orang dikantor Anda kan? Mengapa? Iya dong. Kita kan ingin dihargai melebihi materi. Tapi, kenapa ya ada orang yang hari kepergiannya dihargai. Dan ada juga orang yang hari terakhirnya itu diiringi dengan cibiran dan lecehan. Nggak ada respek sama sekali. Anda tahu kenapa?
 
Sebenarnya kan klub sepakbola yang keren itu bukan hanya MU. Klub lainnya juga banyak yang tidak kalah hebatnya. Artinya pelatih atau manager klub yang hebat itu bukan cuma Fergie. Tapi, kepergian Fergie mungkin menjadi sejarah tersendiri. Anda yang mengikuti perkembangan sampai pertandingan terakhirnya – semacam tribute gitulah – tentu mafhum; betapa orang sangat menghormatinya. Nah, sekarang saya ingin berandai-andai nih. Seandainya saja Fergie mundur ketika MU sedang terpuruk; kira-kira dia akan mendapatkan penghormatan yang sedemikian gegap gempitanya atau tidak ya? Coba renungkan dulu jawaban Anda, sampai Anda temukan isyaratnya.
 
Anda sudah menemukan isyaratnya? Betul. Saat yang tepat untuk mundur itu, ternyata bukan usia 65 tahun ketika masa pensiun tiba. Bukan juga ketika perusahaan sedang melakukan pengurangan tenaga kerja. Bukan ketika ada merger. Melainkan ketika kita sedang berada di puncak prestasi. Persis seperti bocoran alasan mundurnya Fergie dari MU. Memang ada spekulasi merebak tentang alasan kemundurannya berkaitan dengan masalah kesehatan, sudah lelah, atau pun banyak tekanan yang diterimanya. Namun, putera Fergie memberikan bocoran tentang alasan ayahnya mengundurkan diri.
 
“Pada dasarnya dia merasa pergi disaat yang tepat.” Demikian Darren Ferguson mengatakan. “Dia meninggalkan klub ini dalam posisi yang fantastis, sangat sehat, dan telah merekrut manajer yang sangat bagus untuk menggantikan dirinya,” lanjutnya.
 
Menyimak penjelasan putera Fergie itu, saya jadi kembali teringat dengan kedua teman kita itu. Teman kita yang pertama tadi itu juga bukan pemimpin ecek-ecek loh. Beliau itu mempunyai track record yang sangat cemerlang. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini ada sesuatu yang mengganjal bagi dirinya terkait kebijakan perusahaan. Sehingga akhirnya kinerja beliau merosot drastis. Moral anak buahnya berantakan. Dan akhirnya, tidak lagi jelas antara ada dan tidak adanya kepemimpinan disana. Walhasil, ikatan emosional dengan teamnya pun luntur. Semuanya jadi memburuk. Sedangkan teman yang kedua itu, mundur justru ketika beliau sedang berada di puncak prestasinya.
 
Kita sering keliru mengira bahwa cara melanggengkan jabatan itu adalah dengan terus menerus menggenggamnya. Dari Fergie dan kedua teman kita itu saya belajar memahami bahwa bukan begitu caranya. Bukan. Bukan dengan menggenggam tanpa mau melepaskan jabatan itu. Melainkan, justru melepaskannya disaat yang tepat. Yaitu, saat dimana team yang kita pimpin itu berada pada puncak prestasinya yang paling tinggi. Oleh karenanya sahabatku, mulai sekarang mari berusaha sungguh-sungguh untuk membawa team kita ke puncak prestasi tertingginya. Setelah itu, relakanlah. Seperti Fergie yang mundur ketika MU berada dipuncak kemasyhurannya. Seperti teman kita yang kedua itu melepaskan team yang dipimpinnya dalam kecemerlangan pencapaiannya.
 
Lho, memangnya apa salahnya mundur tepat pada saat masuk masa pensiun? Tidak ada salahnya kok. Karena boleh jadi, pada masa menjelang pensiun itu justru prestasi kita ada di puncak tertingginginya. Dan jika sampai masa pensiun adalah yang Anda inginkan, berarti tugas Anda adalah memastikan bahwa sejak saat ini, semua pencapaian dan kualitas kepemimpinan Anda akan teruuus dan teruuuuuus membaik sehingga ketika pensiun kelak, Anda berada di puncaknya. Jika tidak berhasil melakukan itu, maka pencapaian cemerlang Anda sekarang akan terkubur oleh keadaan paling akhir, ketika Anda harus melepaskannya. Jadi, kapan saat yang tepat bagi Anda untuk mundur. Saya yakin jawaban kita sama. Yaitu; Ketika pencapaian kita sedang berada di puncak tertingginya. Bisa? Insya Allah.
 
Banyak orang yang sedemikian terikatnya dengan jabatan yang disandangnya. Hingga mereka lupa, bahwa jabatan itu hanyalah titipan semata. Bukan milik kita, karena kita mesti mengembalikannya. Dan mempertanggungjawabkannya didunia. Dan diakhirat.
 
- Dadang Kadarusman -
Author, Trainer, and Professional Public Speaker
 

KISAH NYATA : Hidup Bocah Polos Zhang Da Menginspirasi Banyak Orang





Zhang Da harus menanggung beban hidup yang berat ketika usianya masih sangat belia. Tahun 2001, ketika usianya menjelang 10 tahun, Zhang Da harus menerima kenyataan ibunya lari dari rumah. Sang ibu kabur karena tak tahan dengan kemiskinan yang mendera keluarganya. Yang lebih tragis, si ibu pergi karena merasa tak sanggup lagi mengurus suaminya yang lumpuh, tak berdaya, dan tanpa harta. Dan ia tak mau menafkahi keluarganya.

Maka Zhang Da yang tinggal berdua dengan ayahnya yang lumpuh, harus mengambil-alih semua pekerjaan keluarga. Ia harus mengurus ayahnya, mencari nafkah, mencari makanan, memasaknya, memandikan sang ayah, mencuci pakaian, mengobatinya, dan sebagainya.

Yang patut dihargai, ia tak mau putus sekolah. Setelah mengurus ayahnya, ia pergi ke sekolah berjalan kaki melewati hutan kecil dengan mengikuti jalan menuju tempatnya mencari ilmu. Selama dalam perjalanan, ia memakan apa saja yang bisa mengenyangkan perutnya, mulai dari memakan rumput, dedaunan, dan jamur-jamur untuk berhemat. Tak semua bisa jadi bahan makanannya, ia menyeleksinya berdasarkan pengalaman. Ketika satu tumbuhan merasa tak cocok dengan lidahnya, ia tinggalkan dan beralih ke tanaman berikut. Sangat beruntung karena ia tak memakan dedaunan atau jamur yang beracun.

Usai sekolah, agar dirinya bisa membeli makanan dan obat untuk sang ayah, Zhang Da bekerja sebagai tukang batu. Ia membawa keranjang di punggung dan pergi menjadi pemecah batu. Upahnya ia gunakan untuk membeli aneka kebutuhan seperti obat-obatan untuk ayahnya, bahan makanan untuk berdua, dan sejumlah buku untuk ia pejalari.

Zhang Da ternyata cerdas. Ia tahu ayahnya tak hanya membutuhkan obat yang harus diminum, tetapi diperlukan obat yang harus disuntikkan. Karena tak mampu membawa sang ayah ke dokter atau ke klinik terdekat, Zhang Da justru mempelajari bagaimana cara menyuntik. Ia beli bukunya untuk ia pelajari caranya. Setelah bisa ia membeli jarum suntik dan obatnya lalu menyuntikkannya secara rutin pada sang ayah.

Kegiatan merawat ayahnya terus dijalaninya hingga sampai lima tahun. Rupanya kegigihan Zhang Da yang tinggal di Nanjing, Provinsi Zhejiang, menarik pemerintahan setempat. Pada Januari 2006 pemerintah China menyelenggarakan penghargaan nasional pada tokoh-tokoh inspiratif nasional. Dari 10 nama pemenang, satu di antaranya terselip nama Zhang Da. Ternyata ia menjadi pemenang termuda.

Acara pengukuhan dilakukan melalui siaran langsung televisi secara nasional. Zhang Da si pemenang diminta tampil ke depan panggung. Seorang pemandu acara menanyakan kenapa ia mau berkorban seperti itu padahal dirinya masih anak-anak. "Hidup harus terus berjalan. Tidak boleh menyerah, tidak boleh melakukan kejahatan. Harus menjalani hidup dengan penuh tanggung jawab," katanya.

Setelah itu suara gemuruh penonton memberinya applaus. Pembawa acara menanyainya lagi. "Zhang Da, sebut saja apa yang kamu mau, sekolah di mana, dan apa yang kamu inginkan. Berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah dan mau kuliah di mana. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebutkan saja. Di sini ada banyak pejabat, pengusaha, dan orang terkenal yang hadir. Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!" papar pembawa acara.

Zhang Da terdiam. Keheningan pun menunggu ucapannya. Pembawa acara harus mengingatkannya lagi. "Sebut saja!" katanya menegaskan.

Zhang Da yang saat itu sudah berusaha 15 tahun pun mulai membuka mulutnya dengan bergetar. Semua hadirin di ruangan itu, dan juga jutaan orang yang menyaksikannya langsung melalui televisi, terdiam menunggu apa keinginan Zhang Da. "Saya mau mama kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu papa, aku bisa cari makan sendiri. Mama kembalilah!" kata Zhang Da yang disambut tetesan air mata haru para penonton.

Zhang Da tak meminta hadiah uang atau materi atas ketulusannya berbakti kepada orangtuanya. Padahal saat itu semua yang hadir bisa membantu mewujudkannya. Di mata Zhang Da, mungkin materi bisa dicari sesuai dengan kebutuhannya, tetapi seorang ibu dan kasih sayangnya, itu tak ternilai.

Menghargai Perbedaan



Pada suatu waktu, ada seorang mahaguru yang ingin mengambil break dari
kehidupannya sehari-hari sebagai akademisi. Akhirnya dia memutuskan
untuk pergi ke sebuah pantai dan meminta seorang nelayan untuk
membawanya pergi melaut sampai ke horizon.

Seperempat perjalanan, mahaguru tersebut bertanya, "Wahai nelayan,
apakah Anda mengenal ilmu geografi?" Sang nelayan menjawab, "ilmu
geografi yang saya ketahui adalah kalau di laut sudah mulai sering ombak
pasang, maka musim hujan segera akan tiba." "Nelayan bodoh!" kata
mahaguru tersebut. "Tahukah kamu bahwa dengan tidak menguasai ilmu
geografi kamu sudah kehilangan seperempat kehidupanmu."

Seperempat perjalanan berikutnya, mahaguru tersebut bertanya pada
nelayan apakah dia mempelajari ilmu biologi dan sains? Sang nelayan
menjawab bahwa ilmu biologi yang dia kenal hanyalah mengetahui jenis
ikan apa saja yang dapat dimakan. "Nelayan bodoh, dengan tidak menguasai
sains kamu sudah kehilangan seperempat kehidupanmu." Kemudian mahaguru
tersebut bercerita tentang Tuhan yang menciptakan umat manusia dengan
struktur tubuh, kapasitas otak yang sama, dan lain-lain.

Selanjutnya mahaguru tersebut bertanya apakah nelayan tersebut
mempelajari matematika? Sang nelayan menjawab bahwa matematika yang dia
ketahui hanyalah bagaimana cara menimbang hasil tangkapannya, menghitung
biaya yang sudah dikeluarkannya, dan menjual hasil tangkapannya agar
dapat menghasilkan keuntungan secukupnya. Lagi-lagi mahaguru tersebut
mengatakan betapa bodohnya sang nelayan dan dia sudah kehilangan lagi
seperempat kehidupannya.

Kemudian, di perjalanan setelah jauh dari pantai dan mendekati horizon,
mahaguru tersebut bertanya, "apa artinya awan hitam yang menggantung di
langit?" "Topan badai akan segera datang, dan akan membuat lautan
menjadi sangat berbahaya." Jawab sang nelayan. "Apakah bapak bisa
berenang?" Tanya sang nelayan.

Ternyata sang mahaguru tersebut tidak bisa berenang. Sang nelayan
kemudian berkata, "Saya boleh saja kehilangan tiga-perempat kehidupan
saya dengan tidak mempelajari tiga subyek yang tadi diutarakan oleh
mahaguru, tetapi mahaguru akan kehilangan seluruh kehidupan yang dimiliki."

Kemudian nelayan tersebut meloncat dari perahu dan berenang ke pantai
sedangkan mahaguru tersebut tenggelam.

Demikian juga dalam kehidupan kita, baik dalam pekerjaan ataupun
pergaulan sehari-hari. Kadang-kadang kita meremehkan teman, anak buah
ataupun sesama rekan kerja. Kalimat "tahu apa kamu" atau "si anu tidak
tahu apa-apa" mungkin secara tidak sadar sering kita ungkapkan ketika
sedang membahas sebuah permasalahan. Padahal, ada kalanya orang lain
lebih mengetahui dan mempunyai kemampuan spesifik yang dapat mengatasi
masalah yang timbul.

Seorang operator color mixing di pabrik tekstil atau cat mungkin lebih
mengetahui hal-hal yang bersifat teknis daripada atasannya. Intinya,
orang yang menggeluti bidangnya sehari-hari bisa dibilang memahami
secara detail apa yang dia kerjakan dibandingkan orang 'luar' yang hanya
tahu 'kulitnya' saja.

Mengenai kondisi dan kompetisi yang terjadi di pasar, pengetahuan
seorang marketing manager mungkin akan kalah dibandingkan dengan seorang
salesperson atau orang yang bergerak langsung di lapangan.

Atau sebaliknya, kita sering menganggap remeh orang baru. Kita
menganggap orang baru tersebut tidak mengetahui secara mendalam mengenai
bisnis yang kita geluti. Padahal, orang baru tersebut mungkin saja
membawa ide-ide baru yang dapat memberikan terobosan bagi perusahaan.

Sayangnya, kadang kita dibutakan oleh ego, pengalaman, pangkat dan
jabatan kita sehingga mungkin akan menganggap remeh orang lain yang
posisi atau pendidikannya di bawah kita. Kita jarang bertanya pada
bawahan kita. Atau pun kalau bertanya, hanya sekedar basa-basi, pendapat
dan masukannya sering dianggap sebagai angin lalu.

Padahal, kita tidak bisa bergantung pada kemampuan diri kita sendiri,
kita membutuhkan orang lain. Keberhasilan kita tergantung pada
keberhasilan orang lain. Begitu sebuah masalah muncul ke permukaan, kita
tidak bisa mengatasinya dengan hanya mengandalkan kemampuan yang kita
miliki. Kita harus menggabungkan kemampuan kita dengan orang lain.

Sehingga bila perahu kita tenggelam, kita masih akan ditolong oleh orang
lain yang kita hargai kemampuannya. Tidak seperti mahaguru yang akhirnya
ditinggalkan di perahu yang sedang dilanda topan badai dan dibiarkan
mati tenggelam karena tidak menghargai kemampuan nelayan yang membawanya.

Yang jadi pertanyaan kita sekarang, apakah kita masih suka bertingkah
laku seperti sang mahaguru? Bila ya, seberapa sering?

-  N. Adhi W -