Cukup
banyak sahabat saya yang mengeluhkan tentang susahnya menembus kekuatan
yang tidak tergoyahkan di kantor. Namanya orang-orang hebat, mereka
selalu mempunyai gagasan yang bagus untuk menunjukkan kualitasnya
sebagai profesional. Sayangnya – kata mereka – selalu mentok dihadapan
kekuatan otoriter. Karena kekuatan itu punya posisi yang lebih tinggi,
maka mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya mengurut dada.
Sambil menahan rasa kesal. Dan sesekali memikirkan peluang untuk
hengkang. Di perusahaan tradisional kekuatan itu adalah owner yang ingin
memegang kendali penuh terhadap jalannya perusahaan. Di perusahaan
modern, sikap itu biasa ditunjukkan oleh board of director atau top
management. Orang bilang; berurusan dengan mereka, rasanya seperti
menabrak tembok. Jika berhadapan dengan tembok-tembok seperti itu,
bagaimana Anda
bersikap?
Saya mampir
di sebuah masjid di luar kota untuk sembahyang. Selama sembahyang itu,
saya mendengar suara mengetuk-ngetuk. Dalam hati saya berpikir, kenapa
di masjid orang harus mengetuk? Bukankah siapapun leluasa untuk masuk?
“Oh, mungkin ada seorang musafir yang sedang dalam perjalanan,” begitu
saya pikir. “Untuk sopan santun, beliau mengetuk sebelum masuk.” Namun
ketukan itu tidak juga reda, sampai saya selesai sembahyang. Penasaran.
Saya melihat kearah pintu masjid. Tidak ada seorang pun. Suasana kembali
sunyi.
Maksud hati
meneruskan untuk berdzikir. Dalam hening itu, saya kembali mendengar
suara ketukan. Dalam hati, saya berbisik;”dipersilakan masuk....” degan
bisikan itu saya berharap ‘beliau’ yang mengetuk berkenan masuk dan
menghentikan ketukannya. Hening lagi. Oh, rupanya sang pengetuk
benar-benar penuh sopan santun. Tidak berani masuk sebelum dipersilakan.
Saya kira beliau hendak sembahyang juga. Mungkin sedang dalam
perjalanan seperti halnya saya. Dalam hati, saya kembali berbisik;
“Sesama musafir dalam perjalanan, dilarang saling mendahului....”
Saya
berhasil berkomunikasi dengan beliau. Untuk sementara waktu, keadaan
menjadi hening kembali. Dan dzikir pun bisa dilakukan dengan khusyuk.
Tak berapa lama kemudian, terdengar lagi bunyi ketukan seperti tadi. Oh,
apakah ada tamu lain yang datang? Ataukah beliau yang tadi masih belum
masuk kedalam? Tidak mungkin yang tadi. Karena saya sudah
mempersilakannya. Jadi, mungkin ini tamu kedua yang datang untuk
sembahyang.
Karena tadi
berhasil mempersilakan sang tetamu, maka saya pikir kenapa tidak saya
persilakan juga saja? Tidak perlu menengok ke arah datangnya suara
ketukan, karena penglihatan saya hanya bisa menangkap hal-hal yang kasat
mata. Saya langsung saja berkata dalam hati disela-sela dzikir;”Silakan
masuk....”
Berhasil.
Setelah itu,
bunyi ketukan tidak lagi terdengar. Saya pun kembali berdzikir. Sambil
tetap yakin bahwa sesama mahluk baik tidak akan mungkin saling
menyakiti. Seperti halnya sesama bis kota yang tidak saling mendahului.
Benar sih, kadang-kadang ada juga bisa kota yang jalannya ugal-ugalan.
Bahkan sampai tabrakan. Apalagi sekedar saling mendahului.... Semoga
saja para tetamu saya itu tidak ugal-ugalan seperti sopir metromini.
Pilihannya
hanya pasrah saja. Sambil terus berdoa. Wirid belum selesai. Malah
sengaja dipilih yang panjang-panjang. Diiringi keyakinan yang makin
kukuh bahwa sesama mahluk yang tunduk pada Tuhan, tidak mungkin
mengganggu yang sedang mengagungkan nama Tuhan.
Benar saja.
Tidak ada kejadian apapun. Dan saya makin tenggelam dalam dzikir. Sampai
suara ketukan itu kembali terdengar. Ya ampun. Banyak sekali tetamu
istimewa yang datang kesini. Jangan-jangan.... Ah, tidak usah membiarkan
pikiran berandai-andai. Yakin saja. Saya memang pernah beberapa kali
mampir ke masjid itu. Kalau pas sedang bertandang ke kota itu. Namun,
tidak pernah sebelumnya mengalami kejadian seperti itu.
Saya
berusaha untuk fokus pada doa-doa. Namun, tak lama setelah hening,
ketukan itu kembali terdengar lagi. Tidak ada pilihan lain bagi saya
selain berguman ‘silakan masuk’ untuk setiap ketukan. Karena saya
percaya, sang penegetuk akan menghentikan ketukannya seperti tamu-tamu
sebelumnya setelah saya ucapakan mantra sakti itu. Tidak ada keraguan
dalam batin saya soal itu. Setidaknya untuk sembilan atau sepuluh
pengetuk pertama. Mengapa begitu? Karena untuk ketukan berikutnya, tidak
bisa saya hentikan begitu saja. Ketukan itu sepertinya tidak lagi mau
berhenti. Padahal saya tidak melihat siapapun didepan pintu masjid
berdinding kaca itu.
Ada dua
kemungkinan. Satu, mantra itu sudah tidak ampuh lagi. Dua, terlalu
banyak yang mengantri sehingga setiap kali satu pengetuk masuk, antrian
berikutnya langsung mengetuk sehingga nyaris tidak ada jeda bagi saya
bahkan untuk sekedar mengambil nafas. “Ini sudah berlebihan!” begitu
saya pikir. Tidak mungkin saya bisa sesabar itu, karena kenyataannya
saya adalah manusia yang tidak sabaran, bahkan masih sering marah-marah.
Maka saya pun mengatakan – masih dalam hati – “Aku bukan tuan rumah
disini!” Sambil berharap ada pertalian batin dengan mereka. “Kalau
kalian mau masuk, ya masuk saja. Tidak usah bikin ribut seperti itu!”
Ajaib.
Ketukan itu
berhenti. Mungkin untuk sesaat saja barangkali. Tetapi tidak. Ketukan
itu benar-benar berhenti hingga saya selesai melakukan wirid dan dzikir.
Puas sekali rasanya. Ditambah pula dengan perasaan menjadi pemenang.
Sekaligus merasa menjadi seseorang yang mempunyai kekuatan lewat
kata-kata. Maka saya pun berdiri, hendak meneruskan perjalanan lagi.
Ketika
menuju ke pintu masjid. Saya melihat ada sesuatu yang aneh di pojok
dinding kaca. Seonggok kecil yang bergerak lembut. Segera saya
mengenakan kaca mata. Dan, jelaslah sekarang mahluk apakah gerangan yang
tersudut disitu. Seekor burung yang kelelahan.
Duh, saya terpaku sambil menggerutu kepada diri sendiri. “Betapa bodohnya aku ini!”
Ternyata
yang sedari tadi mengetuk itu bukannya tamu-tamu yang minta ijin hendak
masuk. Melainkan seekor burung yang tak tahu jalan keluar. Dia terganggu
oleh kehadiran saya sehingga bermaksud meninggalkan masjid itu. Namun
ketika dia hendak terbang ke langit, ada sesuatu yang ditabraknya.
Sebuah dinding kokoh yang tidak kelihatan. Selapis kaca bening yang
tidak mungkin ditembusnya.
Eh, kita sedang bicara apa tadi?
Kita sedang
bicara tentang kekuatan-kekuatan yang tidak bisa dipengaruhi di kantor
kita. Tentang tembok-tembok kokoh yang tidak mungkin kita tembus.
Tentang pemegang keputusan, dan pemilik perusahaan yang tidak selalu
sejalan dengan cara pandang kita. Tentang rasa frustrasi kita berhadapan
dengan penentu arah kebijakan. Tentang rasa lelah batin kita menjalani
hari-hari kerja menabrak tembok. Lelah, seperti terkurasnya tenaga
burung kecil itu.
Setiap orang
mempunyai idealisme. Kita tahu itu. Mininal punya suatu sudut pandang
yang menurut dirinya benar atau lebih bagus daripada pendapat orang
lain. Semakin yakin dia dengan kebenaran pendapatnya, semakin kuat
keterikatan batinnya terhadap pendapat itu. Sehingga dia juga semakin
sulit untuk menerima pendapat orang lain. Makanya, kita sering melihat
orang lain sedemikian sulitnya diajak melihat dari sudut pandang yang
berbeda. Sama seperti keras kepalanya kita untuk menerima sudut pandang
mereka.
Saya kasihan
pada burung kecil itu. Makanya saya sengaja memberi isyarat agar dia
segera pergi melalui celah angin yang terdapat di dekat plafon. Saya
juga kasihan kepada sahabat-sahabat saya yang sering menabrak tembok.
Makanya saya sengaja mengatakan disini belajarlah untuk berhenti
menabrakkan diri ke tembok itu. Belajarlan mencari jalan keluar tanpa mengusik tembok yang kokoh itu.
Sang burung
menclak-menclok sambil melirik ke kiri dan ke kanan. Keatas dan kebawah.
Sepertinya dia mengerti maksud saya. Dia mengepakkan sayapnya. Lalu
menclok di dekat lubang angin itu. Masuk. Kemudian dia terbang ke langit
bebas dengan senangnya.
Saya
berharap agar sahabat-sahabat yang pernah ngobrol dengan saya juga
menemukan lubang angin itu. Demikian pula sahabat lain yang saya tidak
pernah punya kesempatan untuk mendengar curhat-curhat mereka. Semoga,
tidak membuang-buang waktu dan tenaga hanya untuk memaksa dinding kaca
itu roboh dengan menabraknya terus menerus. Semoga, mereka menemukan
pintu atau lubang yang bisa memberinya akses untuk bisa masuk dan keluar
dengan leluasa. Dengan begitu, para sahabat saya akan tetap bisa eksis
diantara kokohnya tembok-tembok itu. Tetap bisa menuangkan
gagasan-gagasan briliannya. Tetap bersuka cita. Dan tetap dicintai
dinding-dinding kokoh itu.
Saya
juga kasihan kepada diri sendiri. Yang sudah diperbudak oleh fantasi
mistis perualangan mental sendiri. Tapi, saya bahagia. Karena melalui
kebodohan ini, saya bisa mengatakan kepada sahabat-sahabat saya. Bahwa
tembok yang kita hadapi itu memang bukan untuk ditabrak. Bukan untuk
diruntuhkan. Melainkan untuk dipoles. Dicat. Ditempeli lukisan. Sehingga
menjadi tembok kokoh yang indah. Yang melindung diri Anda dari udara
diluar yang tidak selalu bersahabat. Tembok itu. Bisa menjadi tempat
bernaung yang menyenangkan selama Anda menjalani karir profesional Anda.
Bisa? Bisa. Jika Anda berhasil menemukan lubang anginnya.
(Tulisan Dadang Kadarusman)