Pages

Friday 14 September 2012

Menabrak Tembok

Cukup banyak sahabat saya yang mengeluhkan tentang susahnya menembus kekuatan yang tidak tergoyahkan di kantor. Namanya orang-orang hebat, mereka selalu mempunyai gagasan yang bagus untuk menunjukkan kualitasnya sebagai profesional. Sayangnya – kata mereka – selalu mentok dihadapan kekuatan otoriter. Karena kekuatan itu punya posisi yang lebih tinggi, maka mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya mengurut dada. Sambil menahan rasa kesal. Dan sesekali memikirkan peluang untuk hengkang. Di perusahaan tradisional kekuatan itu adalah owner yang ingin memegang kendali penuh terhadap jalannya perusahaan. Di perusahaan modern, sikap itu biasa ditunjukkan oleh board of director atau top management. Orang bilang; berurusan dengan mereka, rasanya seperti menabrak tembok. Jika berhadapan dengan tembok-tembok seperti itu, bagaimana Anda bersikap?
 
Saya mampir di sebuah masjid di luar kota untuk sembahyang. Selama sembahyang itu, saya mendengar suara mengetuk-ngetuk. Dalam hati saya berpikir, kenapa di masjid orang harus mengetuk? Bukankah siapapun leluasa untuk masuk? “Oh, mungkin ada seorang musafir yang sedang dalam perjalanan,” begitu saya pikir. “Untuk sopan santun, beliau mengetuk sebelum masuk.” Namun ketukan itu tidak juga reda, sampai saya selesai sembahyang. Penasaran. Saya melihat kearah pintu masjid. Tidak ada seorang pun. Suasana kembali sunyi.
 
Maksud hati meneruskan untuk berdzikir. Dalam hening itu, saya kembali mendengar suara ketukan. Dalam hati, saya berbisik;”dipersilakan masuk....” degan bisikan itu saya berharap ‘beliau’ yang mengetuk berkenan masuk dan menghentikan ketukannya. Hening lagi. Oh, rupanya sang pengetuk benar-benar penuh sopan santun. Tidak berani masuk sebelum dipersilakan. Saya kira beliau hendak sembahyang juga. Mungkin sedang dalam perjalanan seperti halnya saya. Dalam hati, saya kembali berbisik; “Sesama musafir dalam perjalanan, dilarang saling mendahului....”
 
Saya berhasil berkomunikasi dengan beliau. Untuk sementara waktu, keadaan menjadi hening kembali. Dan dzikir pun bisa dilakukan dengan khusyuk. Tak berapa lama kemudian, terdengar lagi bunyi ketukan seperti tadi. Oh, apakah ada tamu lain yang datang? Ataukah beliau yang tadi masih belum masuk kedalam? Tidak mungkin yang tadi. Karena saya sudah mempersilakannya. Jadi, mungkin ini tamu kedua yang datang untuk sembahyang.
 
Karena tadi berhasil mempersilakan sang tetamu, maka saya pikir kenapa tidak saya persilakan juga saja? Tidak perlu menengok ke arah datangnya suara ketukan, karena penglihatan saya hanya bisa menangkap hal-hal yang kasat mata. Saya langsung saja berkata dalam hati disela-sela dzikir;”Silakan masuk....”
 
Berhasil.
Setelah itu, bunyi ketukan tidak lagi terdengar. Saya pun kembali berdzikir. Sambil tetap yakin bahwa sesama mahluk baik tidak akan mungkin saling menyakiti. Seperti halnya sesama bis kota yang tidak saling mendahului. Benar sih, kadang-kadang ada juga bisa kota yang jalannya ugal-ugalan. Bahkan sampai tabrakan. Apalagi sekedar saling mendahului.... Semoga saja para tetamu saya itu tidak ugal-ugalan seperti sopir metromini.
 
Pilihannya hanya pasrah saja. Sambil terus berdoa. Wirid belum selesai. Malah sengaja dipilih yang panjang-panjang. Diiringi keyakinan yang makin kukuh bahwa sesama mahluk yang tunduk pada Tuhan, tidak mungkin mengganggu yang sedang mengagungkan nama Tuhan.
 
Benar saja. Tidak ada kejadian apapun. Dan saya makin tenggelam dalam dzikir. Sampai suara ketukan itu kembali terdengar. Ya ampun. Banyak sekali tetamu istimewa yang datang kesini. Jangan-jangan.... Ah, tidak usah membiarkan pikiran berandai-andai. Yakin saja. Saya memang pernah beberapa kali mampir ke masjid itu. Kalau pas sedang bertandang ke kota itu. Namun, tidak pernah sebelumnya mengalami kejadian seperti itu.
 
Saya berusaha untuk fokus pada doa-doa. Namun, tak lama setelah hening, ketukan itu kembali terdengar lagi. Tidak ada pilihan lain bagi saya selain berguman ‘silakan masuk’ untuk setiap ketukan. Karena saya percaya, sang penegetuk akan menghentikan ketukannya seperti tamu-tamu sebelumnya setelah saya ucapakan mantra sakti itu. Tidak ada keraguan dalam batin saya soal itu. Setidaknya untuk sembilan atau sepuluh pengetuk pertama. Mengapa begitu? Karena untuk ketukan berikutnya, tidak bisa saya hentikan begitu saja. Ketukan itu sepertinya tidak lagi mau berhenti. Padahal saya tidak melihat siapapun didepan pintu masjid berdinding kaca itu.
 
Ada dua kemungkinan. Satu, mantra itu sudah tidak ampuh lagi. Dua, terlalu banyak yang mengantri sehingga setiap kali satu pengetuk masuk, antrian berikutnya langsung mengetuk sehingga nyaris tidak ada jeda bagi saya bahkan untuk sekedar mengambil nafas. “Ini sudah berlebihan!” begitu saya pikir. Tidak mungkin saya bisa sesabar itu, karena kenyataannya saya adalah manusia yang tidak sabaran, bahkan masih sering marah-marah. Maka saya pun mengatakan – masih dalam hati – “Aku bukan tuan rumah disini!” Sambil berharap ada pertalian batin dengan mereka. “Kalau kalian mau masuk, ya masuk saja. Tidak usah bikin ribut seperti itu!”
 
Ajaib.
Ketukan itu berhenti. Mungkin untuk sesaat saja barangkali. Tetapi tidak. Ketukan itu benar-benar berhenti hingga saya selesai melakukan wirid dan dzikir. Puas sekali rasanya. Ditambah pula dengan perasaan menjadi pemenang. Sekaligus merasa menjadi seseorang yang mempunyai kekuatan lewat kata-kata. Maka saya pun berdiri, hendak meneruskan perjalanan lagi.
 
Ketika menuju ke pintu masjid. Saya melihat ada sesuatu yang aneh di pojok dinding kaca. Seonggok kecil yang bergerak lembut. Segera saya mengenakan kaca mata. Dan, jelaslah sekarang mahluk apakah gerangan yang tersudut disitu. Seekor burung yang kelelahan.
 
Duh, saya terpaku sambil menggerutu kepada diri sendiri. “Betapa bodohnya aku ini!”
Ternyata yang sedari tadi mengetuk itu bukannya tamu-tamu yang minta ijin hendak masuk. Melainkan seekor burung yang tak tahu jalan keluar. Dia terganggu oleh kehadiran saya sehingga bermaksud meninggalkan masjid itu. Namun ketika dia hendak terbang ke langit, ada sesuatu yang ditabraknya. Sebuah dinding kokoh yang tidak kelihatan. Selapis kaca bening yang tidak mungkin ditembusnya.
 
Eh, kita sedang bicara apa tadi?
Kita sedang bicara tentang kekuatan-kekuatan yang tidak bisa dipengaruhi di kantor kita. Tentang tembok-tembok kokoh yang tidak mungkin kita tembus. Tentang pemegang keputusan, dan pemilik perusahaan yang tidak selalu sejalan dengan cara pandang kita. Tentang rasa frustrasi kita berhadapan dengan penentu arah kebijakan. Tentang rasa lelah batin kita menjalani hari-hari kerja menabrak tembok. Lelah, seperti terkurasnya tenaga burung kecil itu.
 
Setiap orang mempunyai idealisme. Kita tahu itu. Mininal punya suatu sudut pandang yang menurut dirinya benar atau lebih bagus daripada pendapat orang lain. Semakin yakin dia dengan kebenaran pendapatnya, semakin kuat keterikatan batinnya terhadap pendapat itu. Sehingga dia juga semakin sulit untuk menerima pendapat orang lain. Makanya, kita sering melihat orang lain sedemikian sulitnya diajak melihat dari sudut pandang yang berbeda. Sama seperti keras kepalanya kita untuk menerima sudut pandang mereka.
 
Saya kasihan pada burung kecil itu. Makanya saya sengaja memberi isyarat agar dia segera pergi melalui celah angin yang terdapat di dekat plafon. Saya juga kasihan kepada sahabat-sahabat saya yang sering menabrak tembok. Makanya saya sengaja mengatakan disini belajarlah untuk berhenti menabrakkan diri ke tembok itu. Belajarlan mencari  jalan keluar tanpa mengusik tembok yang kokoh itu.
 
Sang burung menclak-menclok sambil melirik ke kiri dan ke kanan. Keatas dan kebawah. Sepertinya dia mengerti maksud saya. Dia mengepakkan sayapnya. Lalu menclok di dekat lubang angin itu. Masuk. Kemudian dia terbang ke langit bebas dengan senangnya.
 
Saya berharap agar sahabat-sahabat yang pernah ngobrol dengan saya juga menemukan lubang angin itu. Demikian pula sahabat lain yang saya tidak pernah punya kesempatan untuk mendengar curhat-curhat mereka. Semoga, tidak membuang-buang waktu dan tenaga hanya untuk memaksa dinding kaca itu roboh dengan menabraknya terus menerus. Semoga, mereka menemukan pintu atau lubang yang bisa memberinya akses untuk bisa masuk dan keluar dengan leluasa. Dengan begitu, para sahabat saya akan tetap bisa eksis diantara kokohnya tembok-tembok itu. Tetap bisa menuangkan gagasan-gagasan briliannya. Tetap bersuka cita. Dan tetap dicintai dinding-dinding kokoh itu.
 
Saya juga kasihan kepada diri sendiri. Yang sudah diperbudak oleh fantasi mistis perualangan mental sendiri. Tapi, saya bahagia. Karena melalui kebodohan ini, saya bisa mengatakan kepada sahabat-sahabat saya. Bahwa tembok yang kita hadapi itu memang bukan untuk ditabrak. Bukan untuk diruntuhkan. Melainkan untuk dipoles. Dicat. Ditempeli lukisan. Sehingga menjadi tembok kokoh yang indah. Yang melindung diri Anda dari udara diluar yang tidak selalu bersahabat. Tembok itu. Bisa menjadi tempat bernaung yang menyenangkan selama Anda menjalani karir profesional Anda. Bisa? Bisa. Jika Anda berhasil menemukan lubang anginnya. 
 
(Tulisan Dadang Kadarusman)

No comments: