Pages

Tuesday 8 November 2011

Hujan itu.... Wangi



Engkaukah yang datang bersama hujan ini, Wangi?

Gerimisnya yang rintik membangunkan tidurku. Pukul 01.32 dini hari. Dan aku seperti mendengar ketukan di pintu belakang, juga gumam, ''Lang, Langit... bangun.''

Benarkah itu engkau, Wangi? Sungguhkah engkau datang? Tapi, gegasku membuka pintu tak menemukan parasmu. Hanya dingin yang menyambar, juga lengang. Mataku yang mencari, menangkap tirisan air menciprati pinggiran teras, sisi keramik kotor, rumput basah, dan harum tanah. Engkau tak ada.

Wangi, kekasih batinku, kamu di mana?

Biasanya, tiap kali hujan, engkau pasti datang. Aku merasakan dingin yang semula bertandang, meredup, lalu hangat merayap. Ya Wangi, aku menandaimu lewat hangat yang menjalari tubuhku. Setiap kali tanganku menerima hujan, arus hangat merambati sel darahku. Dan jika senja kamu datang, kubugili diriku segera, dan menerima pecahan dirimu menyakiti tubuhku. Merasakan jarummu menitiki lembut rongga poriku. Sampai aku merasa penuh, penuh...

Tapi malam ini, aku merasai dingin. dan kosong. Di mana engkau sembunyi, Wangi? Di mana?


****

''Datanglah ke sini, Lang. Hujan di kota ini indah.''

''Oh ya? Seindah siapa?''

''Aku.''

''Tapi Wangi, tak kutemukan hujan di sini. Hari-hari di kotamu seperti menanam kemarau dalam diriku. Kering. Keindahan yang kau janjikan, tak dapat kulihat. Debu ini Wangi, menyakitkan. Sepi itu Wangi, melebarkan kemarauku. Apakah kau memang ingin aku tandus? Tak hanya haus?''

''Lang, barangkali aku hujan di salah musim.''

''Tidak sayang, engkaulah hujan yang tak kenal musim. Kuinginkan kau begitu. Aku bukan kemarau, juga semi, atau salju, yang bisa memanggil atau menampikmu. Aku hanya rindu pecahan dirimu mencecah tubuhku, sebagai sapa, sebagai arus dalam darahku. Aku butuh kamu lebih dari kemarau di mana pun. Jadi sayang, jangan hiraukan musim. Datanglah, seperti yang aku pinta. Musim hanya membuat jarak. Musim hanya menegaskan kedatanganmu sebagai tugas. Engkau itu rindu. Dan rindu sayang, tak harus menunggu musim, juga waktu. Bergegaslah. Basahi aku. Lumat aku dalam ribuan jarummu. Dan kita bergelut dalam tarian purba, seperti ketika norma belum tercipta.''

''Tidak Lang, kita hanya bisa bersisihan. Memandang. Kita wakafkan saja rindu pada alam. Kita tebarkan kangen pada lengang. Kita titipkan cinta pada harap. Kita ludeskan hasrat pada senyap. Aku tak bisa beranjak. Waktu mengikatku pada masa lalu. Engkau musimku yang kemudian, Lang...''

''Barangkali, aku memang bukan takdirmu, Wangi.''

''Aku tak bisa berjalan di dua takdir, Lang. Tak bisa.''

''Dan hujan itu akan pergi?''

''Hujan akan tetap datang.''

''Dan tetap indah, tetap wangi?''

''Hujan itu akan selalu indah, wangi, Lang. Bagimu, bagiku. Karena ada diri kita di dalamnya, yang jatuh serupa garis, mungkin serupa tangis.''

*****


Wangi kekasih, di mana kamu sembunyi? Apakah aku tak harus lagi menanti? Katakan padaku, kapan hujan penghabisanmu. Biar kuserap pecahan dirimu, kusimpan. Agar ketika engkau tak lagi datang, bisa kutumbuhkan hujan di dalam diriku. Sehingga, seperti pesanmu, tetap bisa kukatakan: hujan itu indah. Hujan itu wangi. Bahkan, ketika kau tak ada, ketika kamu mulai enggan menyapa. Karena hatiku mulai percaya, kamu telah merasa aku adalah musimmu yang salah....

(langit bara lazuardi - 18 Mei 2010)



No comments: