Pages

Tuesday 8 November 2011

Lewat Secangkir Kopi (9)




Kubuka lemari pakaian Shota, ada kardus berwarna putih di bagian atasnya. Kardus itu sudah berdebu, jadi aku turun ke bawah untuk membawa lap basah dan membersihkannya. Saat selesai kubersihkan, kubuka tutup kardus tersebut perlahan. Aku tidak yakin apakah ini hal yang benar, mencuri-curi dokumentasi pribadinya tanpa seizin Shota, aku tidak tahu.

Aku pandangi album berukuran sedang berwarna cokelat. Ada banyak kertas berisi tulisan, beberapa CD musik dan dua notes dengan ukuran yang sama seperti ukuran album. Aku tidak mengerti tulisan dalam kertas dan notes tersebut, karena ditulis dalam huruf kanji. Kuputuskan untuk menelepon Edo dan menanyakan padanya tentang isi notes dan kertas-kertas ini.

Sambil menunggu Edo ke atas, aku duduk menyandar pada ranjang Shota dan mulai membuka album fotonya. Semua foto itu adalah foto-fotonya ketika kecil, saat sekolah dasar hingga universitas. Di antara orang-orang yang berada di foto tersebut, aku menemukan satu orang yang selalu ada, seorang gadis yang di foto universitasnya sudah menjadi seorang wanita yang sangat cantik.

Di halaman berikutnya aku melihat Shota berfoto berdua dengan wanita tersebut. Di bawahnya ada tulisan dalam bahasa Inggris: ‘What a day with Reika’. Jadi namanya Reika. Aku melihat gambar cangkir berwarna hijau dan ada tulisan ‘Reika’s fav is tea’. Di halaman selanjutnya, mereka berdua dalam kimono yang khas, seperti yang sering kulihat dalam film-film Jepang saat upacara pernikahan.

Reika memakai kimono putih dengan bunga-bunga pink. Rambutnya ditata sedemikian rupa seperti wanita dalam film Memoir of A Geisha. Shota terlihat sangat tampan. Ia memakai kimono berwarna biru tua dan tersenyum. Aku ambil salah satu CD yang berada di kardus tersebut.

Aku berdiri untuk mendengarkan CD tersebut. Begitu kuputar tombol play, lagu tersebut terdengar sangat enak, walaupun aku tidak tahu apa arti liriknya. Edo datang di saat itu juga. Begitu ia mendengar lagu-lagu ini, ia segera tahu siapa yang menyanyikannya. “Aku suka track yang ke-5!” aku membiarkan Edo mendengarnya. Ia bilang lagu ini dinyanyikan oleh L’Arc en Ciel dengan judul Flower. Mungkin aku menyukainya, karena inilah satu-satunya lagu yang bisa kubaca dalam bahasa Inggris. Tapi, percuma saja, begitu tombol play kutekan, si vokalis malah menyanyikannya dalam lirik Jepang. Di catatan pinggir CD, aku melihat tulisan ‘Reika’s fav’. Ternyata, lagu ini juga lagu favorit mendiang istri Shota.

“Mbak, kalau Shota-san tahu barang-barangnya digeledah seperti ini...,” Edo ragu-ragu waktu kuminta membaca notes-nya. Aku segera menyahut, “Biar saja. Dia juga nggak peduli kalau aku menunggunya!”

Edo cukup mahir ternyata. Ia mengartikan dengan baik setiap kata yang terdapat di dalamnya. Edo bilang, ini buku harian milik seorang wanita. Sedangkan kertas-kertas tersebut diberikan oleh seorang laki-laki untuknya.

Ia membaca satu kalimat terakhir dalam buku itu yang ditulis dalam bahasa Inggris, then seek, not, sweet, the If and why, I love u now until I die, for I must love because I live, and life in me is what u give... sebuah bait dalam puisi karya Christopher Brennan, Because She Would Ask Me Why I Loved Her.

Aku diam mendengar Edo membacanya. Aku juga tidak sanggup membendung lagi air mata yang sudah berhari-hari lalu ingin kukeluarkan. Edo mendekatiku dan memelukku. Shota ternyata sangat mencintainya. Shota sangat mencintai wanita tersebut, sahabat kecilnya. Itulah kenapa ia sulit sekali keluar dari kepedihan hidupnya.

“Apakah salah karena aku mulai mencintai laki-laki ini?”

Berandai-andai Shota akan pulang hari ini rasanya telah menjadi kembang tidurku di siang hari. Aku menyerahkan operasional kedaiku pada Edo, sementara aku selalu duduk di depan jendela lantai atas, menunggu SUV putih Shota pulang.

Aku mulai hidup dalam khayalan. Aku mulai membayangkan Shota pulang dan duduk bersamaku di halaman belakang atau hanya sekadar duduk di sofa sambil menonton teve. Aku mulai membayangkan diriku pergi bersama Shota. Ia menggandeng tanganku dan membawaku ke mana pun aku mau. Aku lebih banyak melamun daripada menyibukkan diri. Aku sudah mendengarkan CD milik Reika yang diberikan pada Shota. Aku memutarnya setiap saat, meskipun aku tidak mengerti artinya.

Aku memakai kimono yang diberikan oleh ibu Shota di dalam rumah. Aku memang tidak bisa memasang obinya dengan baik, yang penting aku memakainya. Aku memakainya menyusuri anak tangga, dan terkadang hingga ke kedai. Edo tahu bahwa aku mulai bertingkah seperti orang gila, tapi aku tidak peduli. Aku pergi ke salah satu restoran Jepang hanya untuk membeli takoyaki. Aku merindukan semua hal yang ia perkenalkan padaku. Namun, lebih dari itu, aku sangat merindukannya, dirinya... sangat.

Aku tahu, saat ini perasaanku sedang kacau dan aku tidak tahu harus lari ke mana. Edo pun bingung untuk menyadarkanku. Terkadang ia mengasihani diriku dan di satu kesempatan ia seperti ingin menasihatiku. Sayangnya, tidak kugubris. Aku seperti orang bodoh, mengetahui bahwa sudah hampir seminggu aku ditinggalkan oleh Shota.

Kini aku merasa sangat sial. Dulu aku ditinggalkan calon pengantin priaku, sekarang aku ditinggalkan oleh teman hidupku. Sungguh menyedihkan.
Aku melangkah dengan kaki telanjang di malam berikutnya menuju kamar Shota yang tak terkunci. Aku mengusap-usap ranjangnya dan tidur meringkuk di sana. Hari makin malam, aku berusaha menutup mataku, namun tidak juga bisa tidur. Telepon genggamku bergetar, ketika aku mencoba untuk menutup mataku sekian kalinya. Nomor tanpa identitas yang kukenal muncul di layar. Aku memang sengaja membiarkannya tetap berdering. Aku benci sekali harus menerima telepon seseorang yang tidak berada dalam list-ku. Namun, dering itu makin lama makin memekakkan telinga. Mau tak mau kuangkat.

“Halo?”

Tak ada jawaban

No comments: