Pages

Wednesday 9 November 2011

Kerinduan


Ponselku berdering, dan nama Bintang tertulis di layarnya. Ah, memang siapa lagi orang selain Bintang yang meneleponku di tengah malam begini? Setidaknya telpon dari Bintang lah yang selalu menghiasi malam-malamku beberapa bulan ke belakang, sampai Bintang.... bukan.... bukan Bintang, melainkan kami lebih tepatnya, merasa bahwa percintaan ini harus diakhiri.

Ah... sejenak aku ragu untuk mengangkat telpon darinya. Tapi, aku merindukannya, ingin sekali aku bergegas menyapanya dan mengatakan sejujurnya bahwa aku merindukannya, bahwa aku terlalu mencintainya, dan bahwa perpisahan dengannya sungguh menyiksaku. Tidak. Aku harus bisa menguasai diriku betapapun cinta membuatku rapuh. Aku tak mau terdengar gugup, atau terdengar sedih, atau terdengar bahagia hanya dengan mendengar suaranya. Aku ingin suaraku terdengar datar di telinganya.

Akhirnya aku mengangkat telpon, menyapanya dengan berusaha sebiasa mungkin, dan mencoba untuk tidak menanyakan apapun kepadanya. Ah, Bintang ternyata hanya menanyakan kabar saja, dan menyatakan terima kasih atas sesuatu yang sebenarnya bukan hal penting yang aku lakukan padanya beberapa saat yang lalu. Ya, meskipun kita bukan lagi pasangan yang saling memadu kasih, namun hubungan pertemanan sedapat mungkin kami jaga untuk bisa normal, sama seperti kami lebih dulu mengenal satu sama lain, sebelum kami mengutarakan rasa cinta yang ada pada diri kami masing-masing.

Aku merasakan adanya aura gugup dalam suaranya yang terdengar sedikit parau. Mungkinkah apa yang ku rasa, juga Bintang rasa? Perasaan halusku masih sering merasakan bahwa sebenarnya Bintang masih mencintaiku, namun Bintang belum bisa memperjuangkan cinta kami yang mungkin tak bisa dimengerti. Ya, ku fikir jauh di lubuk hatinya sebenarnya Bintang juga merinduiku. Namun nalurinya sebagai laki-laki selalu berusaha menutupi perasaannya dengan logika. Seharusnya kau jujur saja, karena aku mencintaimu.

Sudahlah... mencintai Bintang dalam diamku masih bisa memberikan sedikit kebahagiaan dalam relung jiwaku. Dalam sujudku selalu aku berharap, suatu hari Alloh akan mempersatukan kita, memberikan ku kesempatan untuk bisa membahagiakanmu. Who knows? Dan aku selalu berusaha meyakini do'a ku dikabulkan Alloh.

Kami sama-sama terdiam beberapa detik. Tak ada yang memulai topik pembicaraan, hanya senyap. Akhirnya Bintang memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan yang sama sekali belum di mulai. Dalam hatiku, aku protes, kenapa harus ditutup? Kenapa tidak kita biarkan saja sunyi memenuhi percakapan kita? Bukankah di antara kita sudah ada keterikatan hati, yang bisa saling merasakan apa yang sedang dirasa? Ah.... aku ingin menahanmu selama mungkin untuk tidak menutup teleponnya. Aku merindukanmu, Bintang. Tapi akal sehatku menyetujui tindakannya. Maka dengan rasa enggan, ku jawab pamitnya. Hati kecilku berisik lirih, "selamat tidur sayang, hadirkan aku dalam mimpi indahmu".

Wahai Tuhan Yang Maha Pemurah, tolong jaga Bintang untukku. Berikan aku kesempatan untuk bisa memberinya bahagia.



1 comment:

Gulunganpita said...

merasa bahwa cerita ini menggambarkan sesosok makhluk yang sekarang tengah mencoba tegar..
haaaa... astagfirulloh.

Selamat pagi :D