Pages

Tuesday 8 November 2011

Lewat Secangkir Kopi (7)




Sebelum beranjak dari tempat tidur, aku tersadar tubuhku diselimuti selimut tebal berwarna cokelat. Aku tidak ingat, apakah tadi malam aku memakai selimut atau tidak. Aku pun bergegas turun dari ranjang Shota dan keluar menuju kamarku. Aku masuk ke kamar mandi dan membersihkan tubuhku sebelum turun untuk membuka kedai yang mungkin sudah dibuka oleh Edo (ia punya kunci duplikatnya).

Begitu aku turun beberapa menit, aku melihat selembar note yang ditulis oleh Shota untukku: “Maaf, aku berangkat pagi. Aku buatkan teh untukmu. Bisa dihangatkan, ada di dekat mesin kopi.” Aku menoleh ke arah alat mesin kopi kecil yang warnanya sudah berubah hijau. Aku segera menghangatkan tehnya dan mengambil telepon dekat dapur. Kutekan nomor milik Shota dan sambungan itu terhubung beberapa detik kemudian.

“Ada apa?”

“Hmm... arigatou!” ucapku, riang. Kutempelkan gagang telepon di telinga kananku sementara kedua tanganku sibuk membuka kamus saku Indonesia-Jepang, membolak-balik lembarannya sampai akhirnya menemukan satu kata yang pas untuk berterima kasih padanya. Dari seberang sana, Shota tertawa, mungkin menertawai pengucapanku atau keanehanku menggunakan bahasanya.

“Kenapa tertawa? Aku mau kau menjawabnya, Shota!” aku berpura-pura kesal sambil menyandar di balik dinding tembok. Terdengar suara Edo dari depan yang mulai memanggil namaku, namun aku tak peduli. Aku tetap berada di belakang, menunggu Shota berbicara, berusaha berbasa-basi semampuku agar aku bisa sedikit mendengar suaranya.

“Dooitashimashite,” akhirnya Shota menjawab. Suaranya terdengar jauh lebih hangat di telingaku, jauh lebih ramah dari biasanya. Aku mulai menatap langit-langit dapur. Perlahan dan aku yakin sekali, aku mulai merasakan Shota sebagai canduku. Kami tidak pernah melakukan hal intim apa pun selama kami menjadi sepasang suami-istri, namun keberadaannya memberikan sedikit ruang bagiku untuk bernapas.

Terkadang aku ingin pernikahan kami jauh lebih normal dari biasanya. Aku ingin kami memang seperti sepasang suami-istri. Aku ingin kami mulai saling berbicara dari hati ke hati. Aku menginginkan lebih dari apa yang kami jalani selama enam bulan ini.

“Shota, koishii... matteru yo...”

Kudengar Shota tidak menjawab apa pun. Keheningan makin terasa di antara sambungan telepon kami. Buru-buru kututup telepon tersebut dan berjalan meninggalkan dapur untuk pergi membantu Edo di kedai. Dalam hati aku memang ingin mengatakannya... “Shota, aku merindukanmu.... Cepatlah pulang....”

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Edo sudah pulang. Kini giliran pegawaiku yang lain yang berjaga di kedai. Aku pergi ke dapur untuk menyiapkan kopi. Kubiarkan kopi tersebut tetap panas pada mesin pembuat kopi, agar saat Shota tiba, ia bisa segera meminumnya. Setelah kubuat kopi, aku kembali ke kedai.

Biasanya ia pulang paling lambat sampai pukul enam sore. Aku berusaha menenangkan diriku untuk menunggu hingga satu jam lagi, jika ingin meneleponnya. Aku pun kembali pada aktivitasku. Kulayani kembali para tamu dari mulai petang hingga malam tiba. Para tamuku pun akhirnya keluar satu per satu dari kedai setelah mereka sudah lebih fit untuk kembali ke rumah atau bekerja lagi.

Aku meninggalkan kedai di saat itu juga. Kunaiki tangga menuju lantai atas dengan cepat dan kuraih telepon genggamku. Kutekan nomor Shota, namun ia tidak juga menjawab. Tidak ada sambungan menunggu atau sibuk, yang ada hanya suara seseorang yang mengatakan bahwa telepon di luar jangkauan. Aku mulai khawatir. Aku tekan nomor kantor Shota. Hanya ada mesin penjawab yang menyuruhku memasukkan kode ekstensi untuk dihubungkan ke bagian Shota. Aku makin khawatir ketika mengetahui aku telah menelepon semua nomor telepon Shota, tapi tidak ada jawaban apa pun. Betapa bodohnya bahwa aku tidak mengetahui sedikit pun teman-teman kerjanya yang mungkin bisa kutanya mengenai keberadaan Shota. Akhirnya aku duduk lelah mengamati jendela di ruang atas dan berharap mendengar bunyi mobil Shota.

Sudah lima jam berlalu. Aku tidak tahu di mana Shota berada. Ia tidak memberi tahu sedikit pun ke mana perginya dia malam ini. Aku akan kesal sekali begitu esok pagi ia tiba dan tidak meminta maaf padaku. Ia benar-benar mengesalkan. Aku khawatir setengah mati dan ia seenaknya saja pergi tanpa memberi tahu. Sudahlah, aku mau tidur saja.

Shota belum pulang, padahal sudah dua hari. Aku mungkin sudah bisa melapor pada kantor polisi terdekat kenapa ia menghilang tiba-tiba. Aku bisa memberikan foto dan keterangan yang bermanfaat agar kantor polisi mau membantuku mencari Shota, namun aku tahu itu adalah ide yang paling bodoh. Tentu saja aku tidak akan melakukannya.

Aku menelepon siang harinya ke kantor Shota, menekan ekstensi bagian Shota, kemudian ada seseorang yang mengangkat sambungannya. Seseorang dari tempat Shota pun menanyakan hal yang sama padaku. Shota memang minta cuti selama seminggu, tapi ia tidak tahu ke mana perginya Shota.

Aku kaget mengetahui Shota akan pergi selama itu tanpa memberi tahuku. Biasanya, ia pasti memberi tahuku, walau hanya terlambat satu jam. Biasanya, ia tidak begitu semisterius ini. Setelah selesai berterima kasih, kuputuskan saja untuk menitipkan kedai pada Edo yang sedang libur semesteran, sementara aku pergi mencari Shota.

Tempat pertama yang kukunjungi adalah apartemen Shota yang dulu. Mungkin saja ia kembali ke apartemennya sementara waktu ini. Aku tidak menemukan Shota di sana. Pintu apartemennya terkunci. Saat kutanya salah seorang keamanan di tempat tersebut, tempat itu memang sudah tidak dihuni selama enam bulan.

Aku tidak berminat sama sekali membuka kedai kopiku keesokan harinya. Aku meliburkan pegawaiku hari ini. Aku pun tidak berniat bangun dari tempat tidurku. Aku menunggu teleponku berdering dan mungkin saja Shota menelepon. Tepat ketika aku memikirkan hal itu, telepon rumahku pun berdering. Buru-buru kuangkat telepon tersebut untuk memastikan apakah suara yang berada di sambungan telepon itu adalah suara seseorang yang amat sangat kurindukan. Ketika suara wanita terdengar, aku kembali tak bersemangat. Ternyata, salah satu temanku menelepon. Ia memintaku datang ke acara reuni.

Begitu kumatikan teleponnya, aku duduk menyandar. Telepon tersebut kembali berdering. Saat kuangkat, lagi-lagi ini suara wanita. Aku baru saja ingin mematikannya waktu aku tahu bahwa ini suara wanita yang berbeda, yang jarang sekali kudengar suaranya. Waktu tahu bahwa yang menelepon adalah ibu Shota, mertuaku, aku terkesimak.

“Aku mau bertamu ke rumahmu, Ayu,” begitu kata mertuaku.
“Lama menunggu, ya, Nyonya Hajime?”

Aku membawa nampan berisi secangkir teh hangat dan kue-kue kecil. Mertuaku terlihat sangat menawan di usianya yang tidak muda lagi. Wajahnya yang cantik itu membuatku yakin bahwa Shota mewarisi sebagian besar ketampanannya dari wanita ini. Ia duduk dengan anggun di sofa merah tempatku dan Shota biasa menghabiskan waktu.

“Tidak berubah, ya. Rumahmu sangat rapi, semuanya tersusun dengan baik.” Aku menunduk mendengarkannya berbicara. Sebenarnya, ide membuat rumahku tampak rapi karena Shota. Jika bukan Shota yang mengaturnya, mungkin rumah ini akan terlihat sangat berantakan.

“Shota sedang bekerja, ya?” akhirnya Nyonya Hajime menanyakan keberadaan putranya. Pandangannya kemudian teralihkan oleh satu kamar di depannya. Ia tidak tahu kalau sejak pertama kami memang tidak tidur sekamar.

“Kamar itu dijadikan Shota untuk tempat menyimpan barang–barangnya,” kataku, berbohong.

No comments: